
RADARSEMARANG.ID – Sepak bola jadi impian Mochamad Hasan. Saat remaja, ia sudah masuk tim junior salah satu klub besar di Indonesia. Tapi cedera membuatnya banting setir jadi pelatih.
Karir bermain sepak bola Mochamad Hasan harus terhenti di usia muda, 17 tahun. Cedera fatal pada lutut (knee) jadi penyebabnya. Terakhir bermain untuk Persebaya Surabaya junior di Liga Soeratin (1988-1989). Setelah itu ia justru melalang buana sebagai pelatih. Kini menangani Persekap Kabupaten Pekalongan.

Hasan mulai melatih sepak bola sejak usia 20-an tahun. Kala itu baru menangani sekelas sekolah sepak bola (SSB). Ia menjalaninya sambil kuliah. Itu pun awalnya karena dorongan dari legenda sekaligus pelatih Persebaya Rusdy Bahalwan.
“Almarhum Pak Rusdy ini yang melihat saya punya kemampuan melatih. Karena itu beliau mendorong saya,” ungkap Hasan saat ditemui koran ini di warung es kelapa muda depan home base Persekap, Stadion Kosambi, Desa Kebonrowopucang, Kecamatan Karangdadap Sabtu (6/11) siang.

Lulus kuliah, Hasan sebenarnya ingin cari kerja di luar dunia sepak bola. Namun, lagi-lagi karena dorongan Rusdy Bahalwan, ia berangkat ke Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Di sana ia menangani klub sepak bola kota itu. Hingga membawa klub itu maju ke Divisi 1. Itu lah kali pertama Hasan melatih secara profesional. Usianya kala itu masih 27 tahun.
“Tetapi di Divisi 1 saya kalah lisensi kepelatihan. Saya tak memenuhi syarat,” kata Sarjana Pendidikan jebolan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini.
Hasan akhirnya singgah di Binjai. Di sana ia dipertemukan dengan perempuan asal Jawa Barat yang akhirnya menjadi istri. “Setelah menikah, saya kembali ke Jawa dan tetap aktif di dunia sepak bola,” ujar pria kelahiran November 1971 ini.
Hasan lahir dan besar dari keluarga atlet. Ayahnya, Misbah, adalah seorang atlet bulu tangkis nasional pada masanya. Sementara sang ibu, seorang atlet lari estafet. Hasan anak ke-5 dari 11 bersaudara.
“Kakak dan adik saya juga sebagian besar atlet. Ada yang sepak bola dan di Persebaya juga, pelatih karate, ada yang tinju. Kami teraliri darah atlet,” ungkapnya.
Pengalaman Hasan melatih klub sepak bola tak melulu indah dan mulus. Ia pernah mengalami masa pahit tak digaji, diskorsing lima tahun, hingga tempat tinggalnya dilempari tinja.
Kepada koran ini, Hasan mengaku dalam bekerja selalu mengutamakan prinsip, komitmen, dan profesionalisme. Baik di dalam maupun di luar lapangan. Hal-hal itu lah, kata dia, yang membuat dirinya tak pernah kesulitan mendapat kepercayaan dari klub-klub sepak bola.
“Saya tidak suka dengan orang yang tidak bertanggung jawab,” katanya. Tiba-tiba nada bicaranya berubah. Suaranya bergetar.
Hasan menceritakan pengalaman pahitnya pada 2014. Saat itu ia menangani salah satu klub di Jawa Tengah. Hasan tak digaji. Namun tak mengundurkan diri. Bahkan ia meminta para pemain tetap bertanding sebaik mungkin. Hingga klub itu finish di peringkat tiga babak penyisihan Liga 2 Jawa Tengah.
“Saya kesal sekaligus kecewa. Tapi pemain tak boleh kehilangan fokus dan performa. Karena itu saya selesaikan tugas saya, meski tak digaji,” ungkap pelatih berlisensi B AFC ini.
Jauh sebelum itu, pada 2001 Hasan juga pernah mengalami kekecewaan. Bahkan sampai membuatnya harus diskorsing dari dunia sepak bola Indonesia selama lima tahun. Itu terjadi saat Hasan menangani klub Kabupaten Pelalawan, Riau. Hasan meludahi salah seorang pengurus PSSI di sana.
“Saya emosi karena janjinya tidak ditepati. Diskorsing lima tahun sudah konsekuensi, ya saya terima,” ceritanya singkat. Hasan tak berkenan menceritakan detail peristiwa itu.
Diskorsing, Hasan kembali ke tanah kelahirannya, Surabaya. Karena tak boleh aktif di sepak bola, mantan gelandang Persebaya ini akhirnya bekerja di sebuah perusahaan farmasi. “Alhamdulillah, saya punya ijazah sarjana. Saya bisa bekerja di luar sepak bola,” ujarnya.
Pada 2006 Hasan lepas dari skorsing. Ia kembali aktif di sepak bola. Langsung menangani PSM Madiun. Setelah itu ia kembali berpindah-pindah klub, baik di dalam maupun luar Jawa.
Karir Hasan sebagai pelatih makin melambung ketika menangani Persinga Ngawi pada 2015. Prestasinya, Hasan mampu membawa klub ini menjadi runner-up Piala Kemenpora. “Kalah di final melawan Medan,” sambungnya.
Saat menangani Persinga itu lah Hasan mengalami teror tak mengenakkan. Rumahnya di Madiun dilempari tinja oleh orang-orang tak dikenal. Pemicunya, kata Hasan, karena Madiun kalah dengan Persinga saat home maupun away. Home Persinga menang 3-1, saat away menang 2-0.
“Saya tinggal di Madiun, tapi saat itu bekerja untuk Persinga Ngawi. Mungkin saya dianggap pengkhianat daerah. Saya cuek saja. Wong saya kerja profesional,” ujarnya.
Musim ini, Hasan bekerja untuk Persekap Kabupaten Pekalongan. Lagi-lagi komitmennya diuji. Setelah kontrak dengan Persekap, banyak klub-klub yang menggodanya. Bahkan dengan gaji tiga kali lipat. “Termasuk klub-klub mantan. Tapi saya sudah komitmen di sini, ya di sini. Saya tidak mau mengecewakan manajemen Persekap. Saya tuntaskan dulu tugas ini sekalipun godaan gaji di luar lebih besar,” ucapnya.
Tak Mau Ada Pemain Bintang
Dalam menangani klub, Hasan tak mau ada pemain bintang. Ia menekankan kesamarataan antarpemain. Sekalipun ada pemain menonjol.
“Kalau sudah di tim, ya saya bilang kepada pemain bahwa tak ada bintang di antara mereka. Semua sama,” kata Hasan.
Prinsip melatih seperti itu yang Hasan terapkan selama ini. Termasuk terhadap pemain Persekap. Di Persekap, striker Yanuar Baehaki kini tengah mendapat perhatian warga Kabupaten Pekalongan lantaran produktivitas golnya di Liga 3 Jawa Tengah. Namun sebagai pelatih, Hasan tak pernah melambungkan pemain bernomor punggung 21 itu.
“Saya tidak mau bergantung pada satu pemain. Kalau memang dia bintang, coba suruh main sendiri. Bisa cetak gol?” ujar pria yang pernah mendirikan akademi sepak bola di Hasan Soccer Academy di Madiun itu. (nra/ton)