
RADARSEMARANG.ID – Bulan puasa Ramadan merupakan bulan bertabur berkah. Salah satunya dengan mengisi kegiatan berziarah di makam terapung Waliyullah Syekh KH Abdullah Mudzakir di Dukuh Tambaksari, Desa Bedono, Kecamatan Sayung.
Tentu saja, bagi sebagian orang, berziarah di Makam Syekh Mudzakir—akrab disebut Mbah Mudzakir– nuansanya berbeda dengan ziarah di makam waliyullah lainnya. Untuk menuju makam itu, selain naik perahu, juga harus melalui jembatan kayu penghubung yang sempit dan panjang.

Makam keramat ini terletak hanya sekitar 20 meter arah utara Pulau Blekok. Pulau Blekok adalah daratan yang dulunya perkampungan warga. Namun, akibat abrasi dan rob, kini daratan itu makin terkikis dan terpisah dari Desa Bedono, Kecamatan Sayung. Daratan itu ditumbuhi hutan mangrove yang di dalamnya menjadi habitat burung blekok (kuntul).
Widodo, 43, warga Kota Semarang menuturkan, ia dan keluarga berziarah ke Makam Syekh Mudzakir untuk ngalap berkah. “Di makam bisa mengaji Alquran, baca tahlil dan kirim doa. Saya doa sebisanya,” ujar dia.

Berziarah atau berwisata religi di makam waliyullah sudah menjadi rutinitas yang ia jalani selama ini. Berziarah di makam wali merupakan pengalaman religi. Ziarah itu, kata dia, ibarat asupan vitamin yang membuat hidup makin berkah. “Sebab, selain mengingat perjuangan para wali selaku penyebar agama Islam, dengan ziarah kita juga selalu ingat mati,”katanya.
Untung, 56, tokoh masyarakat setempat menambahkan, untuk ke makam Syekh Mudzakir banyak peziarah yang memakai jasa perahu nelayan. Dengan mesin diesel, perahu melaju dengan kencang diiringi deburan ombak. Selain ke makam, juga berkeliling hutan mangrove melihat suasana kawasan konservasi.
Menurutnya, Dukuh Tambaksari tempat makam Syekh Mudzakir sebelumnya ditempati sekitar 70 kepala keluarga (KK). Namun, ketika rob dan abrasi mulai menerjang perkampungan itu pada 1999, warga mulai direlokasi ke tempat lain. “Sekarang tinggal 5 KK saja yang tidak mau dipindahkan,” ujarnya.
Terpisah, Kepala Desa Bedono, Agus Salim mengatakan, pada bulan puasa seperti ini para peziarah yang datang ke makam Syekh Mudzakir tidak terlalu banyak. Kondisinya relatif sepi. Meski demikian, makam tetap dibuka sebagaimana hari-hari biasa. “Kalau hari biasa jumlah peziarah bisa mencapai 200-an orang. Saat puasa ini turun drastis. Hanya beberapa saja,” katanya.
Menurutnya, makam hingga kini tetap dikelola oleh pihak keluarga. Untuk bisa ke makam Syekh Mudzakir, akses yang biasa dilalui dengan menyewa perahu nelayan setempat. Dengan biaya Rp 10 ribu per orang, peziarah akan diantarkan dari Pantai Morosari menuju Makam Syekh Mudzakir. “Biasanya bisa lewat jalur darat. Tapi, jalan setapak ini putus dan rusak berat dihancurkan rob dan abrasi,” katanya.
Makam Syekh Mudzakir sendiri setiap saat juga terkena dampak abrasi dan rob laut Jawa. Namun, pihak pengelola terus berupaya meninggikan serta memugar makam. Saat ini, dari sisi infrastruktur bangunan kondisi makam semakin baik dan nyaman untuk tempat berziarah. Akses jalan utama dari jalan raya Pantura Sayung sekitar 2,5 kilometer arah Morosari yang juga telah dibetonisasi Pemkab Demak. Dengan demikian, kendaraan peziarah yang masuk dapat berjalan lancar.

Pernah Jadi Santri Kiai Saleh Darat
Dalam sejarah pitutur warga setempat, Syekh KH Abdullah Mudzakir adalah seorang pejuang kemerdekaan di zamannya. Ia hidup antara 1878-1950 masehi. Ia berasal dari Kampung atau Desa Wringinjajar, Kecamatan Mranggen, kemudian menetap dan menyebarkan ajaran Islam di pesisir Pantai Sayung itu.
Yang bersangkutan disebut masih satu angkatan dengan Kiai Tohir (Mbah Tohir) yang kini dimakamkan di Dusun Nyangkringan, Desa Sriwulan Sayung. Keduanya disebutkan pernah menjadi murid atau santri Kiai (Syekh) Saleh Darat, Bergota, Semarang.
Satu versi, Kiai Tohir berasal dari Gujarat, India. Dalam perantauannya ia sempat terdampar di Semarang. Kemudian, dalam perjalanannya ia bertemu dengan Syekh Mudzakir yang sama-sama berguru di Syekh Saleh Darat. Usai berguru itu, keduanya berpencar dalam berdakwah. Meski demikian, tempat tinggal mereka tidak berjauhan. Untuk mengenang perjuangan Syekh Mudzakir itu, setiap akhir bulan Dzulqo’dah warga beramai-ramai mengadakan haul di makam yang berada di atas lautan itu.
Disana, warga bertawasul dan berdoa berharap kepada Allah SWT agar mereka diberi keselamatan dan dijauhkan dari bencana. “Dulu, ceritanya, Syekh Mudzakir pernah dikejar-kejar Belanda. Ia sulit ditemukan lantaran dipercaya memiliki kemampuan linuwih (menghilang). Kalau mau ditembak pun, pistol Belanda tak bisa menyalak atau meletus,”ujar Na’im Anwar, warga setempat.
Na’im yang sejak kecil tinggal di Morosari Sayung itu menuturkan, kemampuan serupa juga dimiliki Kiai Tohir, teman sejawat Syekh Mudzakir. “Saat ada orang Belanda minta minum air kelapa, pohon kelapa itu langsung merunduk. Orang Belanda pun terkejut dengan kemampuan beliau. Saat itulah, orang Belanda itu ketakutan,”ujar mantan kasatkorcab Banser Kabupaten Demak ini.
Cerita rakyat tentang kelebihan atau karomah kedua pejuang asal Sayung itu, kata Naim, diketahui warga hingga kini secara turun temurun. Na’im mengatakan, keberadaan Makam Syekh Mudzakir diyakini cukup istimewa. Sebab, meski diatas lautan, makam tersebut hingga kini tak bisa tenggelam. “Disana, banyak orang tirakatan, termasuk saat bulan puasa Ramadan seperti sekarang ini,”katanya.
Seperti diketahui, makam dengan luas 250 meter persegi itu kini dikepung air laut. Sebelumnya bangunan makam masih menyatu dengan Pulau Blekok, Dusun Tambaksari. Namun, akibat abrasi yang berlangsung bertahun-tahun, bangunan makam terpisahkan dengan pulau tersebut. (hib/ida)