
RADARSEMARANG.ID – Salah satu tokoh penting di Kabupaten Temanggung adalah Ki Ageng Makukuhan. Makamnya berada di Dusun Makukuhan, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung.
Makam Ki Ageng Makukuhan hingga kini selalu dikunjungi para peziarah. Tak hanya dari wilayah Temanggung, tapi juga dari luar Temanggung. Bahkan, menurut pengelola makam, Mashudi, memperkirakan puncak keramaian para peziarah justru terjadi pada malam 21 Ramadan mendatang. Masyarakat Jawa menyebutnya malam selikuran.

“Kemarin sebelum puasa, setiap harinya mencapai ratusan orang yang berziarah. Bahkan kalau hari Minggu, bisa seribu orang ada. Untuk bulan Ramadan ini memang sepi, karena memang ditutup, hanya satu dua orang yang datang,” katanya (22/4/2021).
Waktu terbanyak pengunjung, biasanya saat malam hari. “Orang biasanya nyari yang lebih sakral, itu kalau malam hari,” terangnya.

“Kalau kemarin-kemarin (sebelum puasa) tidak membatasi, tapi kami serukan untuk selalu mematuhi protokol kesehatan. Kami minta ketua rombongan harus lapor. Kami serukan lewat pengerasa suara. Termasuk wajib jaga jarak dan memakai masker,” imbuhnya.
Di dekat makam Ki Ageng Makukuhan terdapat sendang planangan. Rutenya harus menuruni bukit dan melewati ratusan anak tangga di belakang lokasi makam Ki Ageng Makukuhan. Warga desa telah mengelola ini, sehingga akses menuju sendang bisa lebih mudah.
Pada mulanya Eyang menamainya Sendang Tok Aren. Karena sumber mata air berasal dari pohon aren yang digunakan Eyang untuk bersuci sebelum ibadah. Namun pada suatu waktu, salah satu pengikut Eyang Makukuhan ada yang belum mendapat keturunan. Atas anjuran Eyang Makukuhan disuruh mandi di sendang. Tidak berselang lama, Allah SWT memberikan keturunan pada pengikut tersebut. Makanya sendang ini diubah menjadi Sendang Planangan yang mempunyai arti keturunan.
Berdasarkan pengakuan Sugito, saat ini banyak masyarakat yang belum mendapat keturunan datang untuk melakukan mandi hajat di Sendang Planangan tersebut. Kendati demikian, Sugito menyarankan agar orang-orang yang mandi hajat di sendang tersebut selalu menjaga adab agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Pasalnya, ada kisah warga yang meninggal tertimpa ranting pohon di sendang tersebut, lantaran tidak menjaga adab dengan baik. “Kita orang Jawa, kalau bisa pakailah tata krama, tata cara, dan tata santun,” tegas Sugito.
Sugito menjelaskan tentang beratnya juru kunci harus bisa meluruskan niat peziarah. Karena bisa saja niat yang salah dari para peziarah masuk ke ranah kemusyrikan. Menurutnya, seorang juru kunci harus tahu cara meluruskan peziarah tanpa membuatnya tersinggung. ”Ketika sedang berziarah, harus meluruskan niat. Bukannya meminta tapi mendoakan ahli kubur agar mendapat nikmat kubur sebanyak-banyaknya,” tuturnya.
Kali Pertama Kenalkan Tembakau Obat Gatal
Ki Ageng Makukuhan atau Eyang Makukuhan, dulunya adalah seorang yang memperjuangkan kemaslahatan umat. Masyarakat mengenal beliau sebagai tokoh yang pertama kali memperkenalkan pertanian tembakau ke masyarakat di wilayah Kedu.
Sang Juru Kunci Makam, Mbah Sugito menuturkan, sebelumnya wilayah Kedu merupakan daerah tandus. Masyarakatnya begitu lekat dengan kemiskinan. Tak hanya miskin, juga terjangkit penyakit gatal.
Kehadiran Eyang Makukuhan kali pertama di wilayah Kedu pun semula disambut dengan fitnah. Eyang Makukuhan pun dianggap sebagai penyebab wabah penyakit gatal tersebut. Beliau lantas berdoa di puncak Gunung Sumbing.
Setelah berdoa, ia kembali dengan membawa obat. Waktu itu belum dinamakan tembakau. Tapi hanya obat gatal yang kemudian diberikan kepada masyarakat untuk digunakan mandi. “Bersyukur, penyakit warga sembuh. Tapi tanaman tersebut masih tersisa. Oleh Eyang Makukuhan, tembakau tersebut ditabur. Ternyata tumbuh subur. Yang tumbuh itu, ketika digigit ternyata rasanya pahit. Sehingga terjadilah penamaan yang aslinya tombomu menjadi tembako,” jelas Sugito.
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kedu, Eyang Makukuhan melakukan tirakat dan berdoa di puncak gunung. Atas izin Allah SWT, wilayah Kedu berhasil diubah menjadi areal pertanian yang subur.
Beliau menggunakan pertanian sebagai dakwah dengan mengajak para petani berdoa kepada Allah SWT sebelum bercocok tanam. Dengan izin Allah, hasil panen para petani memuaskan. Beliau juga mengajarkan para petani untuk menghentikan sejenak aktivitas bertani ketika waktu salat telah tiba.
Eyang Makukuhan juga menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Kedu yang kala itu masih menganut Hindu dan Budha.
Banyak versi yang menyebutkan tentang asal-usul Eyang Makukuhan. Ada yang menyebutkan beliau adalah seorang keturunan Tionghoa. Ada yang menceritakan beliau salah satu murid Sunan Kudus. Versi lain juga mengatakan bahwa beliau seperguruan dengan Sunan Kudus.
Menurut Sugito, para wali itu sekali singgah selalu untuk kemasyarakatan dan kebaikan. Makanya, orang-orang di sekitarnya selalu ingin menghormati wali-wali tersebut dengan mendirikan makam sebagai simbol atau tanda. “Orang-orang dulu menghormati beliau itu dengan membuat makam, biar tidak hilang jasa-jasa beliau,” jelasnya.
Selain itu, dengan mengajak masyarakat berziarah kubur, ada tiga manfaat besar. Pertama, bisa mengingat kematian sehingga mau melakukan introspeksi untuk berbuat lebih baik. Kedua, untuk mendoakan sang ahli kubur. Dan yang ketiga, mengenang beliau sehingga bisa meneladaninya kebaikan-kebaikan beliau shahibul makam. (cr2/ida)