
RADARSEMARANG.ID – Ratusan orang dari berbagai kalangan berbondong-bondong mengikuti pengajian di Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Az-Zuhri, Semarang. Ponpes yang dikenal kuat kebersamaan dan persaudaraannya.
Ponpes Az-Zuhri berada di Jalan Ketileng Raya Nomor 13 A, Sendangmulyo, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Berdiri secara de jure pada 1989.

Awalnya hanya mengasuh satu dua santri jalanan. Hingga akhirnya ada ratusan santri dari berbagai kalangan dan daerah. Saat ini Ponpes diasuh Muhammad Luqman Hakim (Gus E). Dia merupakan generasi kedua.
Ponpes Az-Zuhri menganut sistem salafiyah yang salafussholihin atau mengedepankan akhlak, mengaji kitab kuning. Tak heran jika di ponpes ini menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil dan memegang kitab kuning. Itu sudah menjadi tradisi.

“Kami mengedepankan bagaimana tafsir dan hadits, mengedepankan pengamalannya. Karena sekarang banyak hanya sekedar sebagai status saja,” kata Gus E.
Di Ponpes Az-Zuhri dari balita sampai lansia mengaji bersama. Baik pejabat, penjahat, seniman, dan lainnya, duduk bareng mengaji mengedepankan kebersamaan dan persaudaraan. “Tidak hanya santri kepada kiai, tetapi persaudaraan,” tegasnya.
Rasa kebersamaan dan persaudaraan itu dirasakan benar oleh Murywanto Broto. Pria 60 tahun itu sudah mengaji di Ponpes Az-Zuhri sejak 2007 bersama istri dan anaknya. Banyak ilmu yang ia dapat dari sana.
“Ilmu di sini banyak, ilmu gawe sangu urip, ilmu gawe sangu mati, ilmu gawe tukang bangunan juga banyak, karena santrinya ada yang arsitek,” kata warga Purwokerto itu.
Baginya, menuntut ilmu tidak dibatasi usia dan jarak. Apalagi di bulan Ramadan, dari berbuka puasa hingga sahur terus mengaji. “Setelah subuh sampai malam ngaji terus. Jadi tidak mikir makannya. Penjelasannya mudah, langsung paham,” katanya.
Ponpes Az-Zuhri memiliki sistem kekeluargaan yang sangat kuat. Tidak membedakan golongan. “Tua, muda dipanggil kakang dan mbakyu. Penak dipangan bareng, ora penak disonggo bareng,” tuturnya.
Gus E bercerita, dirinya merupakan generasi kedua. Sebelumnya ponpes diasuk oleh ayahnya, Abah Syekh. Sang ayah mulai dakwah sekitar tahun 1978. Namun ponpes baru resmi berdiri pada 1989.
“Awalnya hanya satu dua santri, itu pun anak jalanan, cah angon, dan lainnya. Dulu santri tinggal di rumah. Keluarga tinggal di lantai atas, bawahnya untuk ngaji,” cerita Gus E.
Saat ini santri yang mondok dibatasi 80 orang. Terbagi 40 putra dan 40 putri. Jika ada yang mau masuk, harus ada yang keluar dulu. Sedangkan santri yang melaju ada 500 hingga 600 orang. Santri laju kebanyakan dari Semarang, Demak, Ambarawa, Purwodadi, Kendal, Solo, dan lainnya. Bahkan setiap akhir pekan ada profesor, dan pejabat yang ikut mengaji.
“Kita di sini duduk bareng karena diajarkan Kanjeng Rosul dengan Uswatun Khasanah. Menggunakan bahasa Jawa, meskipun banyak dari Sunda, Kalimantan, Sulawesi awalnya kesulitan, tapi saya tanya, mereka paham. Inilah yang menyatukan bangsa dan tidak melihat pangkat,” katanya.