
RADARSEMARANG.ID – Jembatan Kali Tuntang yang sering dilalui jika ingin berpergian ke Salatiga dari arah Semarang tanpa jalur tol menyimpan cerita mistis. Mulai dari adanya kerajaan di aliran kali Tuntang hinggakebiasaan melemparkan atau membuang ayam bagi calon pengantin yang melintas di jembatan tersebut.
Salah satu warga Ngempon, Bergas inisial TM bercerita, dulu pada 2004 dia bersama kawannya berboncengan dan mengalami kecelakaan tepat di Jembatan Kali Tuntang. Nahasnya, temannya terpental dan masuk kali Tuntang. “Kejadiannya cepet banget itu. Saya boncengan terus menghindari kendaraan yang ada di depan karena terlalu deket tidak sampai, buang setir ke kanan malah jatuh. Iya itu malam hari,” katanya sambil mengingat kisah yang sudah 16 tahun berlalu.

TM saat itu masih bisa menyelamatkan diri dengan berpegangan di salah satu besi jembatan tersebut. Pikirannya sudah ke mana-mana. Apalagi melihat temannya terjun bebas masuk dalam kali. Sambil menunggu orang menolong, TM melihat ke bawah. Ke aliran kali Tuntang sambil memanggil temannya. Tidak ada kepala atau tangan yang melambai ke arahnya. Justru yang ia lihat malah sebuah kerajaan megah indah. Banyak orang yang melambaikan tangan ke arah TM. Ia juga tidak tahu itu apa. Nyata atau tidak pun juga tak bisa dibedakan. “Istananya top, bagus banget indah. Orang kalau melihat pasti kepengen turun dan pergi ke sana,” lanjutnya.
Tak lama kemudian TM ditolong orang yang juga melintas. Ia menceritakan semuanya kejadiannya kepada orang. Tim SAR, warga sekitar hingga relawan turun menyusuri kali Tuntang untuk mencari korban. Sehari berlalu, tidak ditemukan. Dua hari berlalu, tidak ditemukan. Tiga hari berlalu jasad teman TM barus ditemukan di permukaan. “Ditemukannya di tempat yang sudah tim SAR cari. Tapi kita saat itu tidak menemukan,”katanya.

Setelah kejadian itu pun tentu TM masih trauma. Ia tidak mau melintas ke Jembatan Kali Tuntang lebih dari jam 9 malam.
Hal serupa juga diceritakan Meidi, 61 warga asli Dusun Sumurup, Tuntang. Banyak yang melihat ada kerajaan karena memang zaman dahulu Danau Rawa Pening merupakan kampung. “Wajar kalau pada lihatnya itu dulu memang perkampungan,” katanya.
Meidi mengatakan ketika ada calon pengantin yang hendak melintas biasanya melepaskan ayam. Jika calon pengantin laki-laki yang lewat, ia melempar satu ayam jago, dan jika calon perempuan maka yang dilempar ayam betina. Banyak juga orang yang tidak percaya dengan syarat itu.
Jika musim kawin, warga sekitaran kali akan menunggu mobil calon pengantin lewat. Iya, siap mengejar dan menangkap ayam untuk dimasak dan dimakan ramai-ramai. “Kalau mau diambil lagi sama pengantinnya juga tidak apa-apa. Tapi biasanya warga sudah siap berbaris untuk berebut,”ceritanya sambil tertawa.
Dari kisah narasumber wartawan koran ini mencoba menguji nyalinya. Merasakan aura mistis yang ada di jembatan Kali Tuntang tersebut. Karena takut sendirian, wartawan ini mengakibatkan dua orang temannya. Abdul Kodir dan Restu Pambudi. Pemberhentian dimulai pukul 20.00. Sengaja tidak ambil jam tengah malam untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Berhenti di ruas jembatan yang tidak ada kotakan besi jembatan.
Suasana cukup sepi. Jantung mulai berdetak lebih kencang. Sudut mata sudah mulai tajam tidak lagi samar-samar melihat. Ketiganya tidak ada yang memiliki kemampuan melihat dunia yang bukan didiami manusia. Kami sepakat apa yang dirasa akan diucapkan. Terutama saling menjaga.
Setelah menunggu sekitar 30 menit, suara percakapan satu dengan yang lain tidak bisa terdengar. Suara yang mendominasi hanya angin seperti ketika naik motor namun tidak menggunakan helem. Sebelumnya Abdul tidak mengetahui dan belum pernah mendapatkan cerita misteri. Namun, Abdul yang berada di depan dengan cepat membalik badan. Ia hanya mengisyaratkan tangannya agar kami bertiga balik kembali ke tempat parkir motor. “Ayo balik. Perasaanku tidak karuan. Pikiran ku sudah ke mana-mana,” katanya. (ria/ton)