
RADARSEMARANG.ID – Jembatan Kali Loji di Kelurahan Panjang Wetan Pekalongan Utara terlihat seperti jembatan pada umumnya. Kabar yang beredar, jembatan itu bisa membawa seseorang menuju alam lain. Sehingga dikenal sebagai gerbang gaib ke kerajaan Pantai Utara.
Kisah tersebut santer beredar, beberapa orang yang melewati pada waktu tertentu hilang. Tiba-tiba muncul di bibir Pantai Slamaran. Mulai dari orang biasa, warga luar kota, hingga tukang becak. Juru kunci Pantai Slamaran Ali Ramadhan, 54, membenarkan bahwasanya jembatan tersebut memiliki energi khusus. Sehingga dipercaya sebagai pintu gerbang menuju Kerajaan Dewi Lanjar.

“Jembatan Loji itu jembatan menuju alam gaib. Orang yang punya keahlian khusus bisa merasakan itu. Menuju pintu istana beliau, yang bisa ke sana tidak sembarang orang. Orang yang benar-benar dipanggil oleh Hj Siti Khodijah. Orang-orang terpilih, minimal punya hafalan Alquran,” terang Ali pada Jawa Pos Radar Semarang di kediamannya Jumat (2/9/2020).
Ali menyebut Dewi Lanjar sebagai Hj Siti Khodijah, mahluk alam gaib yang belajar Islam dari Syekh Asnawi bin Abdurrahman al-Bantani. Ali merupakan penerus Mbah Carung dan Mbah Suntung. Sang istri adalah keturunan dari juru kunci Pantai Slamaran tersebut.

Pantai Slamaran terkenal dengan aktivitas pesugihan, melibatkan makhluk dari alam lain. Ali yang dulunya merupakan pelatih karate pasukan tentara pada zaman Suharto itu kini sedang mengubah stigma tersebut. Hal tersebut karena banyaknya orang yang mengaku-ngaku sebagai juru kunci Pantai Slamaran. Perantara untuk bertemu Dewi Lanjar.
Ia menyebut, bahwa mereka memanfaatkan mitos untuk meraup keuntungan pribadi. Aktivitas pesugihan di Pantai Slamaran sendiri lebih banyak dilakukan orang luar Jawa. “Orang dari Banten selalu bawa uang lebih dari Rp 30 juta saat ingin melakukan pesugihan. Mereka datang dengan orang perantara. Saya selalu tolak itu, mau dikasih berapa pun saya tidak mau. Akhirnya banyak yang mengaku-ngaku juru kunci,” imbuhnya.
Orang yang ingin melakukan pesugihan berani menjual semua hartanya. Berharap saat kembali dari Pantai Slamaran bisa mendapatkan harta berkali-kali lipat. Pihaknya berharap bahwa zaman sudah semakin maju, jangan sampai ada orang yang percaya. Berkaitan dengan Pantai Slamaran bahwa Dewi Lanjar bisa memberikan uang gaib, sampai detik ini tetap masih ada orang yang mencari-cari itu. Biasanya mereka bertemu penipu yang bekerja sama. Mengaku-ngaku juru kunci.
Dukun pengganda uang dari Jawa Timur, Dimas Kanjeng Taat Pribadi pernah mengunjunginya. Memohon untuk bekerja sama dalam praktik perdukunan penggandaan uang yang dilakukan. “Saya tolak itu. Saya tahu dia dukun palsu yang memanfaatkan kesempatan,” ucapnya.
Ada kisah mistis yang Ali ceritakan berkaitan dengan uang gaib. Ada seorang yang mengaku mendapat uang Rp 160 ribu. Uang tersebut tidak pernah habis saat dibelanjakan, selalu kembali utuh. Uang juga sudah dibelanjakan berkali-kali. Saat ditanya, pedagang pun tidak merasa kehilangan uang. Peristiwa mistis itu terjadi sekian bulan, sebelum orang yang mengalami kejadian, cerita kepadanya.
“Itu bantuan dari malaikat Allah, yang saya yakini seperti itu. Merasa uangnya tidak habis-habis dia takut, keesokannya saya minta uang itu dibelanjakan, dan sudah tidak kembali lagi. Dia sedikit menyesal,” ujarnya sembari bergurau.
Ia menjelaskan interaksi Dewi Lanjar juga sangat diharapkan masyarakat Pekalongan. Interaksi itu bisa terjadi demgan siapa saja. Saat tidak dipercayai, tapi warga Pekalongan berharap Dewi Lanjar belanja di pasar. Mengharap keberkahan, yang didatangi Dewi Lanjar menjadi laris dagangannya. “Itu hak beliau (Dewi Lanjar) mau memberikan bantuan seperti apa dan kepada siapa,” timpal Ali.
Rumah Ali berusia ratusan tahun, di belakangnya ada tempat persinggahan Dewi Lanjar. Belakang rumahnya juga berpapasan langsung dengan laut. Dahulu tempat tersebut banyak dikunjungi orang yang menginginkan pesugihan. Biasanya dilewati dengan perahu, lewat sungai menuju laut.
Petilasan atau tempat persinggahan itu berupa batu besar. Saat ini telah dibangun rumah berukuran sekitar 5 x 5 meter. Pembangunan dilakukan orang yang merasa hajatnya terpenuhi setelah melakukan amalan di tempat tersebut. “Sering yang kesurupan di sini. Sampai saat ini masih banyak orang yang ingin melakukan pesugihan di sana. Saya tidak mengizinkan,” ujarnya sembari memperlihatkan tempat sakral tersebut pada wartawan Jawa Pos Radar Semarang.
Bulu kuduk pun ikut berdiri, merasakan nuansa jadul. Jalan menuju petilasan tersebut harus melalui rumah bagian belakang yang berusia ratusan tahun tadi. Wartawan koran ini hanya diizinkan menengok petilasan dari pintu belakang. Juga tidak diizinkan mengambil gambar. Kondisi bangunannya masih kokoh, dengan cat yang telah mengelupas di beberapa sisinya. (yan/lis/bas)