
RADARSEMARANG.ID, TIDAK pernah terpikir oleh Mikie Susanti akan tinggal di pelosok desa. Wanita 37 tahun sejak kecil hidup di wilayah perkotaan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Namun semua berubah, setelah 14 tahun mendapatkan tugas menjadi bidan di Perbukitan Menoreh, Kabupaten Magelang. Tepatnya di Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur.
Saat awal mendapat SK tugas, Mikie mengira akan ditempatkan di daerah Majaksingi bagian bawah. Ternyata tugasnya di Majaksingi bagian atas, di daerah perbukitan Menoreh.

“Waktu itu kepala Puskesmas bilang, Dek Mikie tinggalnya nggak yang di bawah lho. Tapi yang di atas gunung,” kenang Mikie.
Orang tua Mikie yang ada di Pati sempat merasa kasihan dengan anaknya. Mereka khawatir, apakah Mikie bisa betah tinggal di pelosok desa. Mikie pun mengumpulkan tekadnya untuk mencoba tinggal di perbukitan Menoreh. Dalam bayangannya, ia hanya bertugas sementara. Satu tahun selanjutnya, pikirnya, pasti akan pindah tempat.

Karena waktu itu masih bidan baru dan belum memiliki rumah, Mikie tinggal di Pondok Bersalin Desa (Polindes) Majaksingi. Mikie tinggal sendiri, sang suami bekerja sebagai TNI di Kabupaten Purworejo. Ia hanya bisa menemani Mikie saat libur dinas. Sedangkan anak pertamanya dititipkan bersama orang tua Mikie di Kabupaten Pati.
Sang suami pun selalu memberikan dukungan kepada Mikie untuk menjalani pekerjaannya. Karena jauh dari keluarga, masyarakat sekitar sering membantu apa yang dibutuhkan Mikie. Bidan lulusan Poltekkes Depkes Semarang ini pun terenyuh dengan kebaikan dan kepedulian masyarakat sekitar kepadanya.
“Jadi saya seperti punya keluarga baru di sini. Kalau saya butuh apa-apa mereka selalu ada. Bahkan ada yang sampai menemani saya tidur,” tutur Mikie.
Tahun-tahun pertama bertugas di Majaksingi, jalan di sana masih rusak. Kendaraan pun masih jarang. Meski begitu, Mikie memiliki mobilitas tinggi, melayani masyarakat di 12 dusun yang ada di Desa Majaksingi.
“Dulu kalau nggak ngojek biasanya dijemput sama kepala dusun. Saya bawa alat terus ke sana gitu,” ujar wanita yang kini berusia 37 tahun itu.
Di ingatan Mikie, ada satu peristiwa yang selalu terkenang sampai saat ini. Yakni ketika membantu warga di Dusun Kapuhan, Majaksingi, yang kesulitan melahirkan. Saat itu, jalan di sana terputus, karena pohon bertumbangan dan longsor. Selain itu turun hujan abu akibat erupsi Gunung Merapi tahun 2010.
Mikie sempat bingung, karena untuk merujuk ke Puskesmas atau rumah sakit akses jalan tidak memungkinkan. Meminta bantuan tenaga medis lainpun tidak bisa, karena tidak ada sinyal handphone di perbukitan Menoreh. Mikie akhirnya harus dan menunggu proses lahiran selama satu hari satu malam. Sendirian tanpa tidur.
“Saya tunggu satu hari satu malam itu nggak lahir-lahir. Sampai saya nangis. Akhirnya lahir di rumah, tapi berisiko,” cerita Mikie.
Bagi Mikie menjadi bidan di desa harus bisa mengambil keputusan secara cepat dan tepat dengan segala keterbatasannya. Meski begitu, dalam menjalankan tugas bidan, Mikie memegang prinsip untuk menolong dengan tulus dan ikhlas.
Kini Mikie sudah menerima dan menikmati menjadi bidan di pelosok desa. Ia pun sudah menetap dan memiliki rumah di Dusun Keruk Munggang, Majaksingi. Di sana ia tinggal bersama suami dan kedua anaknya. “Menurut saya pribadi, menjadi bidan sekarang itu kompleks. Ngemong masyarakat. Ngemong rasa,” ucap Mikie.
Sampai saat ini pun Mikie masih naik turun perbukitan Menoreh untuk melayani masyarakat. Apalagi rumahnya di Perbukitan Menoreh itu jauh dari Puskesmas Borobudur. Sekitar 40 menit jika melalui jalan utama, lokasinya berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kulonprogo, Jogjakarta. (man/ida)