26 C
Semarang
Jumat, 2 Juni 2023

Kisah Para Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa, Kolom Agama Bisa Dikosongi 

Artikel Lain

RADARSEMARANG.ID – Menjadi seorang penghayat kepercayaan telah dijalani oleh Agung Nugroho sekitar 19 tahun, sejak 2002. Warga asal Desa Pagersari, Mungkid ini merasa menemukan jawaban tentang ketuhanan saat ia memeluk kepercayaan tersebut.

Agung tergabung dalam Penganut Penghayat Kepercayaan Tuhan yang Maha Esa, Desa Kapuhan, Sawangan, Kabupaten Magelang. Seniman yang biasa dipanggil Prabu itu menuturkan, saat awal memutuskan menjadi seorang penghayat kepercayaan, banyak yang meledeknya. Apalagi dulunya ia merupakan pendeta, saat itu ia menganut agama Nasrani seperti kedua orang tuanya.

Namun ia tidak mempedulikan hal tersebut. Karena ia merasa menemukan jawaban tentang ketuhanan. “Saat memutuskan menjadi penghayat itu di-bully sama teman-teman kuliah. Mereka bilang dulu sekolah teologi sekarang kok jadi dukun, penyembah setan, murtad dan lainnya,” kata Prabu.

Ia memaklumi, karena masih banyak orang yang hanya menilai secara dangkal. Tanpa tahu dalamnya. Prabu pun menyadari menjadi penghayat di Indonesia akan mendapat diskriminasi. Namun baginya, masalah ketuhanan tidak perlu pengakuan manusia. Karena hal tersebut merupakan ranah privat.

Menurut Prabu secara tidak langsung negara pun menjadi yang pertama melakukan diskriminasi bagi para penghayat. “Kewajiban negara itu yang paling utama adalah menjamin bahwa setiap masyarakat boleh meyakini keberadaan Tuhannya dalam manifestasi apapun,” ungkapnya.

Sambung Prabu, meski penghayat sudah diakui sebagai agama di kolom KTP, namun diskriminasi masih tetap ada. Menjadi penghayat masih sering dicap dengan stigma negatif. “Banyak yang menganggap bahwa tidak punya Tuhan dan lainnya. Itu merupakan realitas di sekeliling kita. Belum semuanya bisa menerima perbedaan,” terang bapak dua anak ini.

Dikatakan oleh Prabu, seyogyanya kolom agama pada KTP tidak wajib untuk diisi. Sehingga sampai saat ini ia memilih mengosongi kolom agama pada KTP-nya. Baginya kewajiban negara adalah menjamin agar setiap warga negara nyaman melaksanakan ibadah. Bukan mengatur bagaimana berkeyakinan kepada Tuhan.

“Negara mengakui keberadaan kelompok kepercayaan, namun negara melakukan diskriminasi. Menaruh penghayat kepercayaan di ranah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak menaruhnya pada Kementerian Agama,” tutur Prabu.

Prabu pun tidak memaksakan anak-anaknya harus menjadi penghayat. Ia memberikan kebebasan. Karena agama adalah proses pencarian pribadi, bukan warisan orang tua. “Sekarang kalau di sekolah anak-anak memilih pelajaran agama Kristen karena dulu bapaknya kan pendeta terus mbahnya juga pendeta,” jelasnya. Kepada anaknya, ia berpesan, untuk bertanggung jawab saat memilih agama ataupun keyakinan dalam hidupnya nanti.

Penganut Baru Harus Kemauan Sendiri

Sejak usia 12 tahun, Riyadi menjadi penganut kepercayaan Sapta Darma. Warga Dusun Plimbungan, Desa Genting, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang ini besar dalam lingkungan keluarga beragama Islam. “Orang tua juga tidak pernah mengajarkan atau menyuruh ngaji, atau ajaran Islam lainnya, jadi ya saya nyari sendiri,” ujar ketua RT 02 RW 05 Desa Genting ini.

Hingga pada 1984, Riyadi mengaku ikut-ikutan pergi ke Sanggar (tempat ibadah penghayat Sapta Darma). Sejak saat itulah dirinya resmi menganut kepercayaan Sapta Darma.

Kepercayaan Sapta Darma sudah diakui negara selama 3 tahun ini. Bila dulu KTP penganut Sapta Darma dikosongi pada kolom agama, sekarang sudah bisa ditulis Kepercayaan.

Selama menjadi penghayat, Riyadi cukup mendapatkan kesulitan ketika sedang berurusan dengan surat menyurat yang mana harus menyertakan agama yang dianut. “Tapi kan dulu merangkap, di KTP Islam atau agama sebelumnya, tapi di ajaran tetap kepercayaan,” ucap Riyadi yang juga seorang petani.

Di Dusun Plimbungan, dari 60 keluarga, ada 15 keluarga yang menjadi penghayat kepercayaan Sapta Darma. Riyadi menyampaikan, masyarakat memiliki sikap toleransi yang masih terjaga dan hubungan mereka sangat baik. Jadi tidak perlu khawatir bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Sebelum pandemi datang, penghayat rutin mengadakan acara yang dilaksanakan setiap Sabtu Pahing di seluruh Kecamatan Jambu. Sedangkan pada Jumat Wage di sanggar kabupaten di Blater. Acaranya berisi pengenalan kepercayaan Sapta Darma, masalah sujud, kerukunan bersama dsb.

Ada juga perkumpulan dengan beberapa agama yang dilakukan setiap setahun sekali. Yang sudah dilaksanakan selama 5 tahun. Acara lainnya seperti perkawinan secara Sapta Darma penghayat biasanya diselenggarakan di Sanggar yang dituntun oleh Pemuka Penghayat Kerokhanian Sapta Darma setempat.

Sebagai penghayat kepercayaan Sapta Darma, tidak boleh mengajak orang lain untuk ikut dalam kepercayaan ini. Kalau ada yang mau ikut, baru bisa diterima. Menurut Riyadi, harus atas kemauan dari orang tersebut. “Jadi untuk berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa itu tidak boleh dipaksa,” jelasnya.

Orang yang baru menjadi penghayat, akan mempelajari tuntunan-tuntunan berdasarkan kitab atau buku Pedoman Penggalian Pribadi Manusia Secara Kerokhanian Sapta Darma yang diajarkan oleh salah satu penghayat dan tidak boleh belajar secara individu.

Riyadi berharap agar ke depannya masyarakat selalu menjaga toleransi dan hubungan baik mereka demi keutuhan bangsa dan negara. Terutama pada daerah lain yang terdapat penghayat Sapta Darma minoritas.

Jamin Tak Ada Diskriminasi

Hak penganut kepercayaan di Kota Semarang dijamin oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang. Sama seperti pemeluk agama, penganut kepercayaan kini bisa mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan lainnya.

Sekretaris Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesabangpol) Kota Semarang Joko Hartono menjelaskan jika Pemkot Semarang mewadahi penganut kepercayaan. Joko menjelaskan mereka tergabung dalam Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI). Di Semarang tercatat ada sekitar 20 kelompok. “Memang tidak ada kewajiban mendaftar, karena kemerdekaan berserikat dan berkumpul, kita hanya inventaris saja,” katanya saat dihubungi Jawa Pos Radar Semarang.

Joko menjelaskan, penganut kepercayaan ini diakui negara, sehingga memiliki hak yang sama dengan penganut agama lain. Tapi data lengkap tentang jumlah penganut kepercayaan ini belum ada. “Beberapa belum mau muncul, KTP mereka masih ada yang menyebutkan agama lain meskipun aslinya penganut kepercayaan. Meskipun negara mengakui dan bisa menulis penganut kepercayaan di KTP. Jadi jumlahnya nggak bisa valid,” tambahnya.

Pemkot, kata dia, memberikan hak dan perlakuan yang sama kepada penganut kepercayaan. Bahkan Joko memastikan tidak ada diskriminasi kepada penganut kepercayaan ataupun anak dari penganut kepercayaan untuk mendapatkan akses dari segala bidang. “Bisa jadi Semarang ini jadi pioner ya, karena masalah pendidikan salah satu siswa penganut kepercayaan beberapa tahun lalu bisa diselesaikan,” jelasnya.

Pada 2016, ada siswa SMK N 7 Semarang yang dinyatakan tidak naik kelas karena tidak mendapat nilai mata pelajaran agama. Sebagai penganut kepercayaan, siswa tersebut tidak mendapatkan pengajaran agama sesuai kepercayaannya. Masalah ini akhirnya bisa rampung setelah Pemkot Semarang memberikan fasilitas bagi siswa tersebut.

“Misalkan ada siswa yang orangtuanya penganut kepercayaan, kami tetap memfasilitasi agar bisa mendapatkan nilai dan lulus sekolah karena memang itu hak mereka. Yakni dengan menyediakan guru dengan berkoordinasi dengan MLKI. Namun untuk saat ini belum ada laporan dari Dinas Pendidikan, terkait siswa penganut kepercayaan,” tambahnya.

Disinggung terkait kemungkinan diskriminasi kepada penganut kepercayaan di Kota Semarang, Pemkot siap mengakomodasi. Joko mencontohkan, misalkan ada diskriminasi terkait masalah pendidikan, bisa dilaporkan dan akan diselesaikan dengan dinas terkait.

Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang Tedi Kholiludin mengatakan, secara aturan. Ada aturan yang afirmatif terhadap kelompok ini. “Tapi permasalahan biasanya ada di level implementasinya, karena belum seluruh aparatur terpapar informasi,” jelasnya.

Dijelaskannya, dalam bidang pendidikan, beberapa sekolah masih belum akomodatif. “Jadi, ada perdebatan dulu, baru kemudian sekolah bisa menerima. Artinya, sosialisasi belum berjalan maksimal,” katanya.

Siap Didik Guru untuk Penghayat

Keberadaan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa mulai eksis di ranah Pendidikan. Ditunjukkan dengan turunnya izin dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang untuk membuka prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuham Yang Maha Esa (PKTTYME).

“Untag menjadi satu-satunya kampus yang diberi izin Kemenbudristek membuka program studi Pendidikan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” tutur Rektor Untag Prof Suparno.

Menurutnya, di Indonesia terdapat sekitar 12 juta penganut Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Untag pada September 2021 lalu telah menerima surat keputusan dari Kemenristek Dikbud untuk membuka prodi Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Jumlah mahasiswa angkatan pertama ada 33 orang yang berasal dari berbagai daerah. Tidak semuanya seorang penghayat, ada juga yang memeluk agama Islam, Katolik dan lainnya. “Mahasiswa Angkatan pertama ini mulai dari Aceh sampai Papua,” kata Suparno.

Dekan Fakultas Bahasa dan Budaya Untag Yosep Bambang Margono mengatakan, program studi ini dibuka mengingat banyaknya aliran kepercayaan yang ada di Indonesa dan belum memiliki guru yang benar-benar berijazah S1. Menurut data Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), total penghayat saat ini mencapai 12 juta orang.

Selama ini Untag bekerja sama dengan perkumpulan aliran-aliran penghayat yang ada di Semarang. Selain itu tenaga pendidik dan kurikulum pembelajaran sudah disiapkan dan disetujui oleh Dikti.

Dilihat dari nama mata kuliahnya kurikulum yang dikembangkan di perkuliahan mengarah pada wawasan kebangsaaan, budaya, dan pendidikan. “Ini kerena penghayat ini bisa dibilang agama aslinya nusantara. Jadi lebih belajar tentang budaya, etika, hubungan kita terhadap sesama manusia, sejarah kepercayaan indonesia, hukum adat, tradisi lisan memang ke budaya,” tambah Wakil Dekan 1 Untag Sri Sulihingtyas Drihartati.

Saat ini memang belum ada dosen yang bidang keilmuannya linier dengan prodi PKTTYME. Tenaga pendidik diambil dari lulusan S2 Pendidikan Sejarah, PPKN, Pancasila, IPS, Filsafat. “Meskipun mereka bukan penghayat namun mereka bisa memahami penghayat,” ujarnya.

Prodi PKTTYME bukan hanya penting bagi para peserta didik penganut KTTYME melainkan juga untuk bangsa Indonesia ke depan. Bagi penganut KTTYME, prodi ini merupakan harapan yang terwujud. Secara khusus prodi tersebut mempersiapkan calon guru yang akan dengan resmi memiliki keahlian untuk mengajar bidang PKTTYME.

Para peserta didik yang saat ini diberi pelajaran oleh para penyuluh bersertifikat nantinya akan memiliki guru secara resmi. Hak dan kedudukan mereka akan sejajar atau setara dengan semua saudara sebangsa dan se-Tanah Air lainnya.

Ini bukan hanya pengakuan secara resmi Oleh negara melainkan realisasi dari apa yang diamanatkan oleh UUD 1945. Prodi PKTTYME ini merupakan sebuah tonggak penting yang semoga memberikan kontribusi bagi terciptanya masyarakat Indonesia pluralistis. (mg16/mg20/man/den/bam/ton)

 


Baca artikel dan berita terbaru di Google News


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya