
RADARSEMARANG.ID – Kebutuhan rumah di perkotaan terus meningkat. Harga rumah juga terus meroket. Hal ini menjadi peluang bisnis bagi para pengembang perumahan. Namun hati-hati saat membeli perumahan ataupun tanah kavling. Pastikan pengembangnya bukan abal-abal alias fiktif.
Ibu muda berinisial M, warga Banyumanik, Kota Semarang harus menelan pil pahit. Harapannya untuk bisa membangun rumah idaman pupus. Pasalnya, tanah kavling yang dibelinya ternyata bermasalah. Owner PT RJM, pengembang yang menjual tanah kavling itu menghilang setelah mendapat setoran uang muka dari ratusan konsumennya.

M menceritakan, ia tertarik membeli tanah kavling setelah membaca promosinya di media sosial Facebook (FB). Tanah kavling siap bangun itu terletak di wilayah Wonoplumbon dan Kaligetas, Kecamatan Mijen, serta Podorejo, Kecamatan Ngaliyan. Ia dan korban lain rata-rata telah menyetorkan uang ke developer tak bertanggungjawab hingga mencapai Rp 50 juta.
“Saya sudah mengeluarkan uang Rp 50 juta. Ukuran tanah kavling yang ditawarkan seluas 120 meter persegi,” ungkap M kepada Jawa Pos Radar Semarang, Minggu (18/7/2021).

Uang tersebut dibayarkan kepada perempuan berinisial N, yang mengaku sebagai owner pengembang PT RJM pada 7 Februari 2020. “Uangnya suruh transfer sama dia, untuk bayar tanah kavling di Wonoplumbon,” katanya.
M membeberkan, setelah membaca iklannya di Facebook, ia menemui N di kantornya di daerah Kalipancur, Ngaliyan. Selanjutnya ia mengecek lokasi tanah yang akan dibeli tersebut. “Katanya lagi ada promo khusus hari ini. Kalau besok sudah naik jadi Rp 70 juta,” jelasnya.
Promo itu membuat M tergiur untuk membeli. M semakin yakin setelah dipertemukan dengan oknum notaris berinisial V. Notaris itu menyampaikan jika sertifikat tanah kavling itu bisa selesai antara 9-11 bulan setelah pembelian. “Notarisnya bilang pemecahan sertifikat butuh waktu 9-11 bulan. Lalu dibikin Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB),” katanya.
Namun setelah M membayar hingga Rp 50 juta, pada Maret 2020, ia mendapat kabar dari temannya kalau tanah kavling di Wonoplumbon dipasang papan bertuliskan “Dilarang Mendirikan Bangunan.” “Informasinya di situ kan lahan hijau, jadi gak boleh didirikan bangunan,” katanya sembari menirukan ucapan temannya.
Mendapat kabar tersebut, M mendatangi lokasi untuk mengecek, dan ternyata benar. Namun demikian, ada informasi lain, developer belum menyelesaikan pembayaran uang pembelian tanah milik tangan pertama. “Pengembang tidak bayar sama pemilik tanah. Kemudian saya hubungi WA notaris sama marketingnya. Tapi tidak dibalas. Ini ada apa?” ujarnya mulai resah.
M kemudian diarahkan untuk menghubungi pria berinisial H. Namun, M malah diminta untuk membayar kembali hingga puluhan juta rupiah. “Saya suruh bayar Rp 34 juta. Bilangnya di Wonoplumbon kasus, pindah saja ke Podorejo,” terangnya.
Lagi-lagi, awalnya M tidak menaruh curiga, dan sempat akan memberikan uang kepada H. Beruntung, niatan tersebut diurungkan setelah mendapat saran dari temannya. “Saya curhat ke temen, logikanya ini sudah bermasalah kok kamu mau nambahi. Akhirnya saya tidak jadi,” bebernya.
Sejak itu, M kerap dihubungi H melalui handphone, dan tidak direspon. Hingga akhirnya H membuat grup WhatsApp yang di dalamnya orang-orang pembeli tanah kavling di tiga lokasi tersebut.
“Awalnya kita sesama buyer (pembeli) kan tidak tahu. Akhirnya, kita tahu. Di dalam grup ada 100 orang lebih. Mereka yang membeli tanah kavling di Kaligetas, Wonoplumbon, dan Podorejo,” jelasnya.
M menyebutkan, ratusan orang yang menjadi korban hampir rata-rata mengalami kerugian yang sama. Namun ada juga sudah sempat menyetorkan uang tambahan mencapai Rp 20 juta.
“Ada yang nambah Rp 20 juta, dan ada yang Rp 12 juta. Tapi sampai sekarang permasalahannya belum tuntas, padahal sejak 2018 sampai 2021, uangnya juga belum dikembalikan,” katanya.
M dan korban lainnya sudah berupaya menghubungi mereka yang terlibat dalam penjualan tanah kavling ini. Namun tidak mendapat kejelasan, dan susah dihubungi.
“Ini mungkin sudah komplotan. Apalagi yang awalnya (H) gembar-gembor buat grup WA, ngakunya orang Boyolali, tapi dimintai alamatnya tidak mau ngasih,” ujarnya.
Selain N, V, dan H, diduga masih ada orang lain yang terlibat dalam persengkongkolan penjualan tanah kavling ini. Mereka adalah W dan D yang merupakan anak dari N. Peran dua orang ini adalah menerima transferan uang dari para pembeli.
“Sebenarnya notarisnya itu kan tahu. Kantornya pindah-pindah. Sempat ngontrak di Kaliwungu, tapi kemarin lusa di Klipang, terus pindah ke Ungaran. Itu sama (N) juga pindah-pindah. Mungkin sengaja sudah jaringan,” bebernya.
Korban lain, T, warga Pedurungan mengakui telah menyerahkan uang sebesar Rp 40 juta kepada N untuk pembelian tahan kavling seluas 120 meter persegi di Podorejo. Namun sampai sekarang tidak ada kejelasan dengan permasalahan ini.
“Awalnya bayar uang DP Rp, 7 juta. Awalnya, dia mau kontan. Tapi saya maunya kontan setelah ke notaris di Kaligarang, terus pelunasan nambahi Rp 33 juta. Yang nerima orang suruhan (N),” katanya.
T mengakui, awalnya tidak menaruh curiga. Menurutnya, menjadi korban juga setelah dikenalkan rekannya dan bertemu dengan H yang ngontrak di Bangetayu, Genuk. Hingga akhirnya tergiur membeli tanah kavling yang sebelumnya dilakukan pengecekan bersama H.
“Ya, katanya sertifikat HM (Hak Milik), dan bilangnya promo hari ini, besok sudah tidak ada promo. Sebenarnya tidak rasional. Tapi, karena menurut saya di pelosok, ya gak apa-apa. Ada yang tertipu sampai Rp 75 juta,” bebernya.
Sejumlah korban juga sudah melaporkan kejadian ini ke Polrestabes Semarang. Saat ini, masih menunggu kejelasan dari pihak kepolisian terkait hasil penyelidikan.
“Sudah dilaporkan ke kepolisian. Ini lagi proses. Jumlah konsumen yang menjadi korban banyak. Kalau dinominalkan bisa lebih dari Rp 5 miliar sampai Rp 6 miliar. Korban 100 orang lebih,” katanya.
Korban lain, Tutuk, mengaku telah membeli tanah kavling di Kaligetas pada 2018. Ia bahkan sempat membeli dua tanah kavling, dan dijanjikan selama enam bulan sertifikat selesai.
“Beli dua kavling ukuran 120 meter persegi di Kaligetas harga Rp 86 juta per kavling. Awalnya, dijanjikan 6 bulan sertifikat jadi. Tapi, hingga 2021 belum terealisasi,” keluhnya.
Tutuk sudah berkali-kali menghubungi pihak developer yang menjual tanah kavling tersebut, PT Saf Propertindo. Nama owner pengembang itu, Singgih, tak memiliki itikad baik.
“Kalau gak salah namanya Singgih. Sedangkan di PPJB atas nama Tri Widyaningsih, yang dulu staf PT Saf Propertindo. Keduanya diminta pertanggungjawaban hingga kini belum ada titik terang dan ditemui susah. Di kavling Kaligetas ada sekitar 20 titik. Semuanya belum ada penyelesaian,” katanya.
Tak hanya di Kota Semarang, jual beli tanah kavling bermasalah juga marak di wilayah Demak. Tidak hanya di perkotaan saja, namun juga di wilayah pedesaan atau pinggiran Kabupaten Demak. Harga tanah kavling bervariasi sesuai ukuran dan letaknya. Jika ukurannya lebih kecil dan berada di daerah pinggiran, harganya cukup terjangkau, antara Rp 26 juta hingga Rp 45 juta. Namun, jika letaknnya di perkotaan bisa mencapai Rp 80 jutaan tergantung ukurannya. Pembayarannya pun bisa diangsur.
Penelusuran Jawa Pos Radar Semarang, untuk membeli tanah kavling warga harus berhati-hati. Untuk memastikan tanah kavling aman, ada warga yang menelusuri sampai ke pemilik tanah aslinya dan menanyakan ke pihak notaris terkait.
“Kalau sudah jelas, baru saya lakukan pembayaran. Jadi, harus pasti dulu apakah pengembang yang membeli tanah warga untuk dikavlingkan itu sudah melunasi atau belum? Kalau pengembang sudah melunasi pembelian tanah dari pemilik aslinya, biasanya lebih aman,”ujar Ari, warga Kota Demak.
Menurutnya, mengetahui siapa pemilih tanah asli dan notaris yang menangani pengurusan sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan mempermudah proses jual beli tanah kavling. “Kita antisipasi supaya tidak ada penipuan,”ujarnya.
Di Demak, sebelumnya terjadi dugaan kasus penipuan jual beli tanah kavling. Modusnya, pengembang membeli tanah dari pemilik asli, namun tanah yang dibeli tersebut belum dilunasi. Padahal tanah telah dikavling, dan pembeli telah melunasi. Akibatnya, pembeli tidak bisa menyertifikatkan tanah yang dibelinya dari pengembang tersebut. Pembeli pun akhirnya melaporkan kejadian yang dialami ke kepolisian.
Salah satu pelakunya, Yudho Wardhono, 46, warga Desa Tlogodowo, Kecamatan Wonosalam . Ia menjadi tersangka lantara diduga melakukan penipuan jual beli tanah kavling yang berlokasi di wilayah Kelurahan Mangunjiwan, Kecamatan Demak Kota. Tersangka dilaporkan oleh korban, Heru Al Habib, 40, warga Muktiharjo Kidul, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang, ke kepolisian setempat. Dalam kasus ini, petugas Satreskrim Polres Demak mengamankan sejumlah barang bukti (BB) berupa lembaran kuitansi pembelian tanah kavling yang dibayar secara bertahap.
Kapolres Demak AKBP Andhika Bayu Adhittama melalui Kasatreskrim AKP Agil Widiyas menyampaikan, tersangka diduga melakukan penipuan dengan modus membeli tanah dari seseorang dengan membayar uang muka atau DP terlebih dulu. Selanjutnya, tanah tersebut dipecah, dan dibuat kavling untuk dijual lagi. “Tersangka berhasil menjual tanah kavling itu, namun tidak melunasi uang pembelian kepada pemilik tanah,”jelasnya.
Sehingga, kata Kasatreskrim, tanah kavling yang terjual diminta oleh pemilik tanah. Praktis, pembeli tanah kavling itu dirugikan oleh tersangka. Tersangka telah menjual dua tanah kavling di Kelurahan Mangunjiwan, yakni kavling nomor 11 ukuran luas 7×20 meter persegi dengan harga Rp 135 juta, dan kavling nomor 12 ukuran 8×20 meter persegi seharga Rp 155 juta. “Korban sebelumnya telah melakukan pembayaran kepada tersangka Rp 285 juta, dan sisanya akan dibayarkan setelah proses akta jual beli selesai di kantor Notaris Siti Nur Azizah,”ujarnya.
Setelah menunggu sekian bulan, korban tidak pernah diajak oleh tersangka untuk melakukan proses akta jual beli. Karena itupula, korban tidak bisa menerima, dan tidak dapat memiliki tanah kavling tersebut. “Pihak notaris menjelaskan kepada korban bahwa tanah kavling nomor 11 dan 12 yang dibeli oleh korban masih dalam status belum dijual, dan masih menjadi milik Muamirun, pemilik lama,”katanya.
REI Jateng: Pastikan Pengembang Jelas
Semakin maraknya praktik penipuan oleh pengembang rumah abal-abal harus diwaspadai. Masyarakat harus benar-benar jeli dan teliti ketika memutuskan untuk membeli rumah maupun tanah kavling.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Real Estate Indonesia (DPD REI) Jawa Tengah Suhartono tidak menampik jika kebutuhan rumah semakin tinggi. Kondisi ini seringkali dijadikan modus sejumlah pihak untuk melakukan aksi penipuan berkedok sebagai pengembang. “Masyarakat harus lebih berhati-hati dan cerdas dalam memilih hunian,” pesannya.
Ia menambahkan, selektif dalam memilih pengembang menjadi kunci utama. Sebelum membeli rumah maupun tanah kavling, lanjut dia, harus ditanyatakan dulu tentang legalitas perusahaan pengembang, alamat kantor, dan dari asosiasinya apa. “Ini penting agar tidak terjadi penipuan yang dilakukan sejumlah oknum. Dan masyarakat tidak salah pilih,” ujarnya.
Suhartono menegaskan, jika pengembang resmi tentu sudah mempunyai aturan dan prosedur yang jelas. Yang lebih penting, tentunya terkait dengan legalitas proyek, sertifikat tahan, dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). “Jika tidak ada kelengkapan dokumen seperti itu ya jangan membelinya. Masyarakat atau calon konsumen harus benar-benar berhati-hati,” tegasnya.
Pengembang rumah tidak resmi atau abal-abal memang sangat meresahkan masyarakat. Kasus di Pedurungan Kota Semarang menjadi salah satu contoh nyata. Pihaknya juga terus melakukan pengawasan agar bisa meminimalkan semakin besarnya pengembang nakal di Jateng.
Di tengah pandemi, kata dia, sektor properti butuh dukungan dari pemerintah. Sebab, ini menjadi salah satu bagian penggerak ekonomi. Pihaknya berharap properti bisa pulih seperti sedia kala, karena di properti banyak sektor yang terkait, sehingga bisa menggerakkan ekonomi. “Kebutuhan perumahan banyak, tetapi kondisi pandemi tentu sangat berpengaruh. Kami ingin agar segera kembali normal,” harapnya. (mha/hib/fth/aro)