
RADARSEMARANG.ID – Sosok Marsekal Madya TNI (Purn) H. Boediardjo sangat berjasa, tak hanya untuk kemajuan pers di tanah air, tetapi juga seorang pejuang yang mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk meraih kemerdekaan bangsa Indonesia. Boediardjo pernah menjabat Menteri Penerangan periode 1968-1973. Ia juga pernah menjadi Ketua Dewan Pers pada 1972. Segenap insan pers di Kota dan Kabupaten Magelang selalu berziarah ke makam Boediardjo di TPU Tingal Kulon, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang setiap Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari.
Bagi Amat Sukandar, nama Boediardjo cukup melekat di ingatannya. Pria yang dikenal sebagai wartawan senior di Magelang ini cukup dekat dengan mantan Menteri Penerangan tersebut. Bahkan, dua tahun lalu, Sukandar dilantik menjadi pengurus Pondok Seni dan Budaya Boediardjo yang bermarkas di Hotel Pondok Tingal, Borobudur, Kabupaten Magelang. Kepengurusan ini dikukuhkan pada 27 April 2019 oleh Ketua Yayasan Boediardjo, Dandung Bardo Kahono. Sebelum dibentuk pengurus, kegiatan kebudayaan mengalir begitu saja. Sukandar aktif mengurusi.

Dalam momentum sakral itu pula, Yayasan Study Bahasa Jawa ‘Kanthil’ Jawa Tengah memberikan tanda penghargaan kepada Pondok Seni dan Budaya Boediardjo atas jasa komitmen melestarikan budaya Jawa. Khususnya dalam menyelenggarakan pergelaran wayang kulit sejak 1991 sampai 2019.
Pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) di Pemkab Magelang ini menyebut, almarhum Boedi—sapaan Boediardjo– sangat mencintai wayang. Juga bisa mendalang. Tiap bertugas di suatu tempat, Boedi selalu membawa pulang wayang dari berbagai daerah maupun manca negara. Mulai dari wayang suket, wayang kulit, sampai wayang golek.

“Koleksi wayang Pak Boedi ini disimpan di Museum Wayang Gunarasa. Koleksi lain seperti gamelan disimpan di Museum Kyai Manasuka. Semua koleksi ini terawat di Hotel Pondok Tingal,” ujar pria yang masih aktif menulis dalam bahasa Jawa maupun Indonesia. Karyanya menghiasi redaksi di berbagai media.
Saking cintanya kepada wayang, sebelum tutup usia, Boedi berpesan kepada ahli warisnya untuk melestarikan budaya nusantara itu. Maka setiap tahun peringatan kelahiran Boedi di bulan November, diselenggarakan pentas wayang kulit semalam suntuk di Hotel Pondok Tingal. Yang rutin adalah pentas wayang kulit pada minggu ke empat, setiap bulannya. “Tidak ada penyelenggaraan wayang kulit hanya saat Ramadan, dan pandemi Covid-19 saja,” tutur pria kelahiran 17 Agustus 1950 itu.
Boedi dikenal gigih. Tekun. Cerdas. Punya banyak jabatan. Berkantong tebal, tapi rendah hati. Jauh dari sombong. Sangat dermawan. Menurut Sukandar, Boedi dekat dengan wartawan. “Pak Boedi itu orangnya semanak, grapyak. Nggak membeda-bedakan. Padahal dengan kita wartawan, beliau melayani, kita dianggap seperti kawan. Ayo rene-rene,” kenangnya.
Bukan itu saja yang membuat sosok Boedi istimewa. Adalah hobi fotografi. “Kemanapun beliau pergi, pasti menenteng dua kamera. Satu kamera slide, satu kamera foto colour,” ucap warga Sanggrahan, Mungkid, Kabupaten Magelang itu.
Kemahiran dalam membidik objek gambar, melahirkan karya-karya mengagumkan. Jepretan Boedi merupakan dokumentasi sejarah. Pernah dipamerklan di Hotel Pondok Tingal. “Dalam bidang fotografi, fotonya itu bagus-bagus. Human interest,” pujinya.
Hal senada diakui Tandang Satoto, cucu Boediardjo. Pria yang sehari-hari menjadi Wakil General Manager Hotel Pondok Tingal ini mengakui, semasa hidunya sang eyang mempunyai dedikasi tinggi terhadap dunia fotografi dan seni budaya. “Eyang itu semasa muda, kalau kemana-mana pasti selalu membawa kamera kesayangannya,” kata Tandang Satoto kepada Jawa Pos Radar Semarang.
Tandang menceritakan, eyang Boediardjo tidak pernah lupa membawa kamera di sela kesibukannya menjalankan berbagai profesi dalam hidupnya saat itu. Banyak karya Boedi yang masih disimpan rapi di Galeri Boediardjo yang berlokasi di Desa Sawah Baru, Jombang, Ciputat. Seperti foto Sedanku yang diabadikan di kompleks Piramid Giza, dekat Kairo. Sedangkan untuk di Pondok Tingal yang didirikan pada 1991 terdapat museum wayang. “Selain fotografi, eyang juga suka dengan budaya. Salah satunya wayang,” jelasnya.
Ia menjelaskan, eyang Boediardjo suka fotografi sejak masa kanak-kanak, karena eyangnya dulu adalah seorang juru penerang yang menggunakan medium fotografi untuk menyampaikan informasi. Ia akhirnya belajar fotografi saat bersekolah di MULO Magelang.
Diceritakan, eyangnya membeli kamera kali pertama saat menjadi siswa di Royal Air Force Staff College (1952-1954) di Andover, Inggris. Kala itu, kamera yang dibeli merek Leica bekas, yang menjadi sahabatnya ke mana-mana. Kata ayah dulu, lanjut Tandang, eyangnya selalu kelihatan gagah dengan Leica yang digantung sebatas dada,” cerita Tandang saat ditemui di Pondok Tingal Borobudur.
Fotografi adalah minat yang serius ditekuni sang eyang, dan menjadi pelipur lara yang setia menemaninya sejak vonis medis pada 1987 menyatakan dia mengidap kanker prostat. Boedi lalu banyak bepergian, memendam penderitaannya, tapi tentu dengan kamera setianya. Saat kembali mengunjungi Kairo, Boedi membuat Potret Diri yang dramatis, mengharukan, dan inilah koleksi terbaik yang dibuat Boediardjo.
Boedi mengabadikan bayangan badannya sendiri yang tengah memotret di bebatuan dan pasir kompleks pemakaman Mesir Kuno di Giza, tempat favoritnya, dengan tiga piramid (makam Khufu 2549-2460 SM, Khephren 2518-2493 SM, dan Menkaure 2488-2460 SM) dan langit biru yang menjadi latar belakangnya.
Di masa tuanya, lanjut dia, eyang Boedi dua kali menggelar pameran tunggal. Pameran perdana di Galeri Nasional, tepat pada ulang tahun yang ke-75. Dan pameran tunggal keduanya di Galeri Cahaya. Pada 15 Maret 1997, sang eyang berpulang ke pangkuan Sang Khalik saat fajar tengah berusaha menerobos kepekatan malam. Dia seolah menyambut fajar kedua dalam catatan kehidupannya. Makamnya bersebelahan dengan pusara ayah-ibunya di TPU Tingal Kulon, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, dekat Candi Borobudur. Tingal adalah istilah Jawa yang berarti mata atau melihat. Tempat itu, seperti juga kamera, menjadi saksi dalam hidup Boediardjo. (put/rfk/aro)