
RADARSEMARANG.ID – Banjir bandang Sampangan yang terjadi pada 25 Januari 1990 tak pernah dilupakan oleh warga Kota Lunpia. Bencana alam ini menelan korban jiwa 197 orang lebih. Hari ini (25/1/2021), tepat 31 tahun lalu, banjir besar ini meluluhtantakkan kawasan sepanjang sungai Kaligarang (Banjir Kanal Barat). Mulai Bendan Ngisor, Sampangan, Simongan, Cabean (Puspanjolo) hingga kawasan Tanah Mas.
Banjir bandang itu terjadi tengah malam. Pukul 01.00, di saat warga terlelap tidur. Dari sejarah Kota Semarang, banjir bandang Sampangan menjadi peristiwa yang paling mengerikan. Bahkan kala itu menjadi bencana nasional yang dampaknya dapat mengubah muka Kota Semarang saat ini.

Johanes Cristiono menjadi salah satu orang yang mengetahui dahsyatnya peristiwa tersebut. Ia menyaksikan sendiri dampak yang dihasilkan pasca banjir. Dan sepanjang hidupnya, ia berani menyatakan banjir tersebut merupakan yang terbesar dan mematikan yang pernah terjadi di Kota Semarang. “Kalau kata orang BMKG itu merupakan siklus banjir 100 tahunan,” ujarnya kepada Jawa Pos Radar Semarang.
Pada 2021 ini, memperingati 31 tahun terjadinya banjir bandang, Johanes mengajak masyarakat kembali mengenang memori tersebut. Ia menceritakan sebenarnya tanda-tanda banjir besar sudah dapat terlihat tiga hari sebelum peristiwa banjir bandang terjadi atau pada 22 Januari 1990.

Siang itu, kawasan Ungaran dilanda hujan lebat lebih dari tiga jam. Akibatnya, debit air meninggi dan menyebabkan banjir di beberapa daerah Semarang yang memang dilintasi sungai yang memiliki hulu dari sana. Tercatat, ada dua aliran sungai yang terhubung. Di sisi barat terdapat Sungai Kaligarang dan di sebelah timur terdapat Sungai Kalibelang.”Dan tanggal 22 itu semuanya meluap. Baik yang Kalibelang maupun Kaligarang,” katanya.
Meluapnya Kaligarang membuat jaringan pipa PAM (PDAM Tirta Moedal, Red) menuju Semarang rusak parah. Pipa malang melintang tidak karuan. Jembatan bambu hanyut, dan bahkan arus air yang kuat mengakibatkan perubahan alur menuju Karangbolo (Lerep) yang merusak sawah.
Sementara di Kalibelang, rumah hanyut karena tersapu air dari Ungaran. Dan beberapa daerah di timur Semarang terendam banjir.”Pokoknya bisa buat patokan. Kalau Ungaran hujan lebat tiga jam atau lebih, bisa dipastikan Semarang banjir,” ujarnya.
Dan pada 25 Januari 1990, kejadian kembali terulang. Ungaran barat dan timur sudah hujan sejak siang. Namun menjelang malam intensitasnya semakin meninggi. Ia mencatat hujan lebat sudah terjadi sejak pukul 20.00. Dan ketika ia pulang ke Ungaran (karena memang rumahnya di sana, Red) pukul 21.00, hujan semakin lebat sampai-sampai windscreen wiper mobil jeepnya kesulitan untuk bekerja. Dan seketika instingnya merasa ini gawat. Semarang akan banjir kembali.
Prediksinya pun akurat. Tepat pukul 01.00 dini hari, ia mendapat panggilan telepon dari atasannya yang memberi tahu bahwa Semarang banjir. Dan ia mendapat perintah menuju lokasi keesokan harinya.
“Saya saat itu jadi wartawan. Dan memang ditugaskan untuk meliput. Tapi kala itu saya tidak tahu sebesar apa banjir yang terjadi,” katanya.
Pagi harinya bersama rekannya, ia berangkat ke lokasi banjir di Sampangan. Sebenarnya banjir bandang menerjang dari Sampangan hingga Tanah Mas.
Ia tidak menyangka dampak banjir sedemikian mengerikan. Johanes melihat mayat bergelimpangan, bahkan sampai ada yang menyangkut di atas pohon. Sapi dan hewan ternak lain sudah mengelembung terisi air. Rumah hilang hanyut terbawa arus. Sawah rusak penuh endapan lumpur, dan warga menjadi linglung tidak mengetahui harus berbuat apa.
Salah satu rekannya yang memiliki rumah di lokasi kejadian mengaku banjir datang tiba-tiba saat semua orang tidur. Suaranya menggelegar dengan kondisi di luar masih hujan deras dan petir menyambar. Suasana gelap karena listrik mati seketika. Dan dalam hitungan detik ketinggian airnya mencapai atap rumah.
“Seluruh daerah Sampangan, Pegandan, Simongan kena semua. Saya melihat sendiri ada mayat temangsang (tersangkut) di pohon. Pokoknya situasinya parah sekali,” ceritanya.
Pasca kejadian evakuasi langsung dilakukan. Pihaknya mencatat pada hari pertama, petugas berhasil menemukan 47 jenazah. Mereka dikumpulkan di kantor Kelurahan Bongsari. Dan sepekan setelah evakuasi, pemerintah secara resmi mengumumkan korban jiwa mencapai 197 orang. Walaupun warga yakin korban lebih dari itu. Mengingat keluarga masih banyak yang hilang.
Selain itu, korban jiwa juga banyak ditemukan di pabrik Phapros. Pekerja yang kala itu sif malam terjebak dalam kantor saat peristiwa terjadi. Alhasil, mereka tidak bisa menyelamatkan diri, dan tewas tenggelam di sana. “Mungkin setengah dari total korban itu dari pekerja tersebut,” tuturnya.
Warga selamat yang terdampak pun direlokasi. Atas bantuan warga, rumah mereka dipindahkan ke daerah sekitar Mayaran arah menuju ke Gunungpati yang dirasa lebih aman. Sedangkan di Sampangan kala itu ditetapkan jam malam. Agar tidak terjadi penjarahan barang-barang milik warga yang masih tertinggal.
Kejadian tersebut juga ditetapkan sebagai bencana nasional. Karena ternyata sebenarnya banjir kala itu tidak hanya melanda Semarang bagian barat saja. Namun bagian timur juga. Aliran Kalibelang meluap dan menyebabkan daerah sekitar Banjir Kanal Timur terendam. Meskipun memang tidak mematikan sebagaimana yang terjadi di Kaligarang. Pemerintah mulai dari daerah hingga pusat memberikan bantuan.
Bahkan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia kala itu, Sudomo, turun langsung ke lokasi untuk melihat dampak yang terjadi.”Bisa dibilang itu bencana nasional. Karena banjir terjadi hampir di seluruh Kota Semarang,” katanya.
Kembali ke masa kini, untuk mencegah hal tersebut terulang kembali, ia melihat pemerintah sudah banyak berbenah. Salah satu yang signifikan, yakni membenahi Sungai Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Di mana tanggul-tanggulnya telah diperkuat. Meski begitu, ia selalu berdoa kejadian tersebut tidak akan pernah terjadi kembali.
“Dengan cerita ini saya hanya ingin warga Semarang, khususnya anak-anak muda mengerti bahwa Semarang kota kita tercinta pernah mengalami bencana mengerikan. Dan bagaimana ke depannya mereka harus lebih waspada, dan berupaya agar hal tersebut tidak terulang,” ujarnya. (akm/aro)
Baca Juga: Selamat setelah Naik ke Kubah Masjid