
RADARSEMARANG.ID – Masa pandemi Covid-19 membuat sistem pendidikan di Indonesia berubah. Tidak semua guru dan siswa bisa segera beradaptasi dengan pembelajaran daring. Butuh inovasi-inovasi baru, termasuk pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus.
Kendala pembelajaran daring pada siswa difabel dirasakan Sujadi, salah satu guru Sekolah Luar Biasa (SLB) Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Kota Semarang. Pihak guru akan membuat soal dan nantinya dikirim melalui whatsapp ke orang tua siswa. Nantinya orangtua akan membantu anaknya untuk mengerjakan tugas. Namun ada pula yang ngambek tidak mau belajar daring. “Ada juga beberapa anak yang tidak mau mengerjakan karena pengen ketemu gurunya,” ungkap pria kelahiran Kulon Progo ini pada Jawa Pos Radar Semarang.

Perhatian penuh harus diberikan pada siswa tuna grahita. Sebab mereka sering kesulitan menerima materi yang diberikan. Di samping daya ingat yang rendah, terkadang para murid juga tidak sepenuhnya bisa untuk mengikuti pembelajaran daring ini. “Peranan orang tua sendiri di sini sangat penting, apalagi dengan anak-anak yang begini perlu adanya perhatian khusus dan selalu membantu si anak itu sendiri. Misalnya, untuk pelajaran olahraga tiap hari Jumat, orang tua ya membuat video dan dikirimkan ke saya,” jelasnya.
Kejadian-kejadian unik dan lucu seringkali menghiasi proses pembelajaran daring ini. Mulai dari si anak yang ingin ketemu gurunya secara langsung sampai tingkah-tingkah lucu saat video call. Pria yang sudah mengabdi selama 34 tahun di YPAC ini mengaku bahwa penting bagi seorang guru untuk ikhlas dan sabar mengabdi terlebih untuk anak-anak berkebutuhan khusus, “Jadi ya kalo pepatah Jawa bilang sopo sing nandur kuwi bakal ngunduh,” jelasnya. Karena ia percaya bahwa siapa yang berbuat kebaikan dan memberikan ilmu suatu saat akan memperoleh hasilnya, entah di dunia atau di akhirat.

Penyesuaian sistem pembelajaran juga dilakukan Muhammad Saifudin, salah satu guru di SLB Swadaya Semarang. Meski belum optimal dan masih banyak kendala, ia tetap semangat mengajar siswa tunarungu. “Kendalanya, orang tuanya kurang bisa membantu anaknya pada saat pembelajaran serta masih banyak yang belum mengerti tentang aplikasi yang digunakan. Terlebih lagi kalau anaknya yang susah untuk diajak kelas, menurut saya itu yang paling menjadi kendala,” jelasnya.
Namun dengan sabar, pria kelahiran Demak ini membantu para orang tua yang kesusahan dalam membantu anak dalam mengikuti kelas daring. Selain menggunakan aplikasi Zoom, Udin juga menggunakan Whatsaap agar para orang tua lebih mudah mengakses materi. Selain itu, pembelajaran di rumah dirasa sulit karena pandangan anak tentang rumah adalah tempat melepas penat. Maka dari itu ia tidak pernah menuntut para murid untuk menyelesaikan tugas atau materi yang digunakan. Yang terpenting setiap hari siswa bisa belajar walapupun hanya satu sampai dua jam.
Banyak kejadian-kejadian yang dialami oleh Saifudin selama mengajar siswa difabel. Salah satunya pada saat masih pembelajaran tatap muka, sering siswa bertengkar karena hal sepele. Bahkan siswa bertengkar dengan guru pun pernah terjadi. Sedangkan saat pembelajaran daring, orang tua mengatakan anak-anaknya baik-baik saja. Namun seringkali orang tua juga mengeluhkan anak-anaknya sulit untuk disuruh mengikuti pembelajaran dan lebih memilih untuk bermain game.
Ikatan emosianal dengan para siswa jadi alasan para guru, terutama Saifuddin, untuk terus mengajar dan mengabdi di sekolah berkebutuhan khusus. Walaupun secara finansial bisa dikatakan kurang, dasar itu adalah hal yang tak ternilai dan tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Kesabaran dan kesenangan dalam mengajar membuat para guru tidak bisa lepas dari pengabdian. (mg18/mg19/ton)