31 C
Semarang
Jumat, 2 Juni 2023

Jadi Guru SLB Harus Ekstra Sabar dan Ikhlas

Artikel Lain

RADARSEMARANG.ID – Tidak sembarang orang mendapat panggilan untuk mengemban tugas menjadi seorang guru, terlebih di Sekolah Luar Biasa (SLB). Dibutuhkan rasa sabar dan ikhlas lebih banyak ketimbang guru di sekolah-sekolah biasa.

Kristina Carlos, 56, guru kelas dua di SLB (A) Dria Adi Semarang menuturkan, menjadi guru merupakan sebuah sukacita. Terlebih ketika melihat anak-anak tertawa ceria di tengah keterbatasan yang mereka miliki. “Menjadi guru SLB adalah salah satu wujud pelayanan saya dalam kehidupan,” tutur perempuan yang kerap dipanggil Kris saat diwawancarai Jawa Pos Radar Semarang Senin (23/11/2020).

Begitu pula bagi Timotius Joko Pramono, 35, salah seorang guru tunanetra yang mengajar di SLB yang telah berdiri 37 tahun tersebut. “Kalau untuk saya, menjadi guru adalah panggilan jiwa dan hidup saya. Tentu saja harus menjalaninya dengan senang hati,” ujarnya.

Kekurangan tidak membatasi langkah Pram, sapaan akrabnya, untuk terus mengembangkan bakat. Kecintaannya pada musik sedari kecil dia lanjutkan hingga perguruan tinggi dan kini membawanya untuk menjadi seorang guru mapel kesenian di SLB Dria Adi.

Untuk kegiatan ajar-mengajar, kata Kris, sekolah tentu menggunakan huruf braille mengingat SLB Dria Adi adalah SLB (A), khusus menampung anak-anak berpengelihatan kurang (tunanetra). Entah itu bawaan lahir, korban kecelakaan, dan lainnya. “Model saya mengajar anak-anak biasanya saya sesuaikan dengan kenyamanan saya. Apalagi mereka dan saya punya kemiripan, yaitu sama-sama difabel netra. Kalau sedang belajar keyboard, jari anak-anak saya arahkan pada tuts piano atau mereka yang memegang dan menyesuaikan jari-jari saya,” jelas pria yang beralamat di Graha Mukti Utama, Jalan Argomulyo Mukti, Pedurungan tersebut.

Namun selama pandemi, semua kegiatan belajar dilakukan di rumah melalui WhatsApp grup. Kris menjelaskan, peran orangtua dalam pembelajaran dari rumah sangat penting karena orangtua adalah guru dalam keluarga. “Biasanya kami memberitahu orangtua untuk tetap mengajari anak-anak. Dengan begitu anak-anak tidak lupa cara membaca menggunakan braille. Kalau ada kelas praktik, orangtua kami minta untuk merekam kemudian mengirimkan hasilnya kepada guru kelas masing-masing,” lanjutnya.

Home visit tak pelak menjadi salah satu alternatif bagi Kris dan Pram untuk mengajar selama pandemi dikarenakan metode belajar melalui Zoom, Classroom dan Edmodo dirasa kurang cocok untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Biasanya mereka akan mengunjungi rumah siswa dan tentu saja dengan tetap mematuhi protokol kesehatan yang sudah diterapkankan serta mengurangi atau kontak fisik antara guru dan siswa. “Cuci tangan dan pakai masker itu krusial. Kami juga membawa hand sanitizer ke mana-mana,” jelas Pram.

Menurut mereka berdua, semangat anak-anak dalam belajar sangat tinggi, terlebih minat mereka terhadap seni musik. Pada Agustus lalu, 6 anak didik SLB (A) Dria Adi ini mengikuti lomba menyanyi tingkat Kota Semarang dalam rangka memperingati Hari Pramuka. Sebagai hasil dari ketekunan mereka selama latihan, 3 siswa mengantongi juara tiga, juara harapan satu dan harapan tiga dalam lomba tersebut. Tak bisa dipungkiri, pencapaian tersebut tentu membuat Kris dan Pram bangga. Menurut mereka, semua itu mungkin dilakukan apabila ada usaha dan niat. Sama seperti perjalanan mereka selama menjalani profesi yang mulia ini. Ketulusan, kasih, dan kesabaran pasti akan membuahkan sesuatu yang manis. “Jangan menyerah atas kekurangan yang kamu miliki, tetapi jadikanlah kekurangan itu sebagai sesuatu yang unik dalam dirimu,” ucap Pram dari balik masker yang ia kenakan. (mg16/mg17/ton)


Baca artikel dan berita terbaru di Google News


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya