
RADARSEMARANG.ID, Semarang – Warga yang terkena dampak pembangunan Semarang Outer Ring Road (SORR) atau jalan arteri mengaku resah. Sebab, proyek tersebut sampai sekarang belum terealisasi. Bahkan, sebagian warga belum mendapatkan uang ganti. Apalagi ada pandemi covid-19.
Sebagian lahan kosong dan bangunan rumah warga terkena proyek SORR. Yono mengaku tempat tinggalnya di pinggir Jalan Palir Kelurahan Podorejo Kecamatan Ngaliyan sudah diukur. Dari tengah Jalan Raya Palir, masing-masing diambil 15 meter.

“Kalau tanahnya kena 12,5 meter kali 20 meter. Kalau bangunan fisik 8 meter kali 14 meter. Itupun belum tahu, nanti per meternya diganti berapa gak tahu, karena belum muncul. Padahal harga tanah disini setiap tahunnya naik,” kata Yono, saat ditemui di depan rumahnya oleh Jawa Pos Radar Semarang, Minggu (28/6/2020) kemarin.
Menurutnya, harga tanah per meter sekarang ini sudah mencapai Rp 1,5 juta. Sedangkan dulunya, awal sosialisasi hingga pertemuan rutin, harga gantinya kurang lebih Rp 1,2 juta. “Kalau gak salah sebagian di daerah Wates, sudah ada yang cair. Tapi kalau disini belum. Ini sangat membingungkan, sehingga banyak tidak bisa membangun rumahnya, karena merasa digantung,” keluhnya.

Meski demikian, Yono sangat mendukung program pemerintah dalam melakukan pembangunan di Kota Semarang. Akan tetapi, untuk program pembangunan proyek SORR sangat dikeluhkan lantaran tidak ada kejelasan.
“Ini seperti di-PHP. Kalau gak jadi juga tidak apa-apa. Dari kelurahan juga tidak ada yang bisa menjelaskan kelanjutan ini. Bilangnya tidak ada yang tahu,” bebernya.
Proses pengukuran lahan pembuatan jalan sudah dilakukan sejak tahun 2009 silam, atau sebelum adanya pembangunan jalan tol. Kemudian tahun 2013 dilakukan sosialisasi dan tahun 2015 rencana pembebasan lahan. Sebelumnya, warga dijanjikan akan menerima uang ganti pembebasan lahan pada tahun 2018.
“Sudah ada kumpulan (pertemuan) di kecamatan, penyampaianya nanti 2018 pembebasan selesai, tapi sampai sekarang belum selesai. Kalau gini kan susah, Mau buat apa-apa tidak bisa. Balik nama tidak bisa, dijual juga repot. Mau buat usaha juga tidak bisa,” katanya.
“Balik nama saja notaris nunggu ketentuan Pemkot soal ini. Sertifikat dipecah juga gak bisa,” lanjutnya.
Yono mengaku telah mendengar adanya program pembangunan jalan tepi laut mulai Kendal sampai Demak yang melintas di wilayah Mangkang Kota Semarang. “Di JBL juga sudah kena, tapi tidak tahu apakah sudah pembebasan atau belum,” katanya.
Pihaknya berharap, pemerintah segera memberikan kejelasan terkait program pembangunan ini. Sehingga masyarakat yang lahannya terkena proyek dan belum menerima uang pengganti tidak resah.
Pantauan di lapangan, lokasi yang rencana akan i bangun proyek jalan SORR berada di Jalan Palir Kaliancar, Kelurahan Podorejo tersebut merupakan jalur penghubung dari berbagai wilayah, menuju Mijen, Ngaliyan dan Mangkang. Lebar jalan juga sangat sempit dan hanya berukuran kurang lebih 5 meter. “Dari Wonosari (Mangkang) terus ke Palir, Wates (Kelurahan Podorejo), Ngadirgo, Pesantren (Mijen) tembus Mako Sabhara (Mijen),” imbuhnya.
Sedangkan Omy warga Podorejo mendengar program pembangunan tersebut sejak tahun 2012. Namun sampai sekarang belum ada realisasi. Bahkan, pihaknya juga merasa digantung oleh pemerintah. “Ya sama saja digantung. Kalau saya dengar-dengar malah dana dialihkan untuk pembangunan jalan lain,” katanya.
Harapannya segera direalisasikan. Warga setuju, tapi harus diimbangi dengan kejelasan kalau iya iya, jangan digantung. “Kalau begini kan tidak bisa apa-apa, mau dijual gak berani, mau bangun juga sama,” pungkasnya.
Sedangkan di Rowosari, Kelurahan Wonosari sudah ada patok batas jalan yang dipasang. Lokasinya di kawasan persawahan yang masih ditanami padi dan jagung. Sudah empat tahun lebih patok dipasang. Namun sampai sekarang belum ada lagi kejelasan dan kepastian kapan realisasi pembangunannya.
Lokasi tersebut rencanannya merupakan titik awal jalur masuk SORR. Berada di depan Terminal Mangkang langsung masuk melalui traffic light menuju ke arah Mijen. “Patoknya yang dipasang ditengah itu, lalu yang patok peralon batas pinggir jalan,” kata seorang warga RT 6 RW 1 Rowosari, Kelurahan Wonosari Sutrisno saat menunjukan lokasi rencana pembangunan SORR kepada Jawa Pos Radar Semarang.
Awalnya saat pertama dikaji rumah miliknya masuk dalam pembebasan lahan. Tetapi setelah melewati berbagai tahap, lahan dan rumahnya tidak masuk dalam pengembangan. Padahal, jaraknya hanya sekitar lima meter dari lokasi yang akan dijadikan jalan SORR. “Waktu awal-awal masih sering ikut diajak musyawarah untuk pembebasan lahan warga. Tapi setelah itu sudah tidak lagi,” ujarnya.
Warga banyak yang tidak mengetahui kejelasannya. Hanya menduga pembangunan terkendala masalah Anggaran. Bahkan, ada yang wadul ke DPRD Kota Semarang dan tetap belum mendapatkan kepastian. “Banyak yang tanya ke DPRD katanya pembangunan tetap jalan, tapi anggaran pembebasan lahan belum cukup,” tambah warga lainnya, Rahmad dan Alif Rizki,
Dengan pembangunan SORR sebenarnya warga berharap bisa meningkatkan ekonomi. Misalnya ketika jalanan ramai, warga yang persis di samping jalan bisa membuka usaha untuk menambah penghasilan. “Kalau niatnya memang baik warga tidak masalah melepas lahan. Yang penting harga pembebasan cocok dan bisa untuk mencari lokasi tempat tinggal baru,” tambah Sutrisno.
Wali Kota Berupaya Realisasikan SORR
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengakui proyek SORR memang masih berpusat di daerah Tugu, Mijen, dan Ngaliyan. Masih terkendala dengan wilayah Banyumanik. “Jadi saat ini fokus di Kelurahan Wates, Ngaliyan,” terangnya.
Tak hanya itu, kendala yang didapati dari masyarakat yang menempati beberapa perumahan dan masih belum mau melepas asetnya. Meski sempat berembus wacana bahwa proyek SORR akan diganti dengan proyek Harbour Tol Road, Hendi menegaskan akan tetap berupaya untuk mewujudkan ring road di Kota Semarang.
Apalagi Semarang sebagai kota besar belum memiliki outer ring road. Sehingga berdampak pada kemacetan lalu lintas. “Secepatnya kami akan bergerak ke daerah-daerah yang belum terjamah. Selain itu, kami akan terus lakukan upaya-upaya untuk bisa mewujudkan ring road di Kota Semarang,” tutupnya.
Sedangkan Wakil Ketua DPRD Kota Semarang, Mualim mengusulkan adanya skala prioritas. “Pembangunan infrastruktur memang harus tetap berjalan. Namun harus melihat skala prioritas, mana yang urgent mana yang tidak,” kata politisi Partai Gerindra ini.
Menurutnya, skala prioritas yang dimaksud adalah insfastruktur yang dibangun dengan kebutuhan yang sangat mendesak untuk keperluan masyarakat Kota Semarang. Misalnya, jembatan ataupun perbaikan jalan yang rusak. “Kalau jembatan misalnya, jalan rusak itu urgent dan harus dilakukan,” jelasnya.
Penanganan pandemi dan rasionalisasi anggaran yang dilakukan saat ini, menurut dia, harus menjadikan pemerintah jeli melakukan proyek pembangunan infrastruktur lanjutan dengan mengedepankan skala prioritas. “SORR ini belum begitu mendesak,” pungkasnya. (mha/fth/nor/den/ida/bas)