
RADARSEMARANG.ID – Mendonorkan darah, merupakan kegiatan amal penyambung nyawa orang lain. Tidak semua orang memiliki kesadaran untuk rutin mendonorkan darahnya. Di Hari Donor Darah Sedunia bertepatan dengan pandemi covid-19, darah sangat dibutuhkan.
Beberapa anggapan miring bahwa darah yang didonorkan menjadi lumbung transaksional uang, membuat orang jadi malas berdonor. Namun, beberapa orang terpilih, sepanjang hidupnya justru rutin mendonorkan darahnya dua bulan sekali. Selain untuk ikhlas beramal, orang-orang yang rutin berdonor darah merasakan bahwa tubuh terasa segar dan jarang sakit.

Jalan hidup siapa yang tahu. Begitu juga dengan Bambang Istiyanto, 69, warga Jalan Muria Perum Argajaya, Kalinegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Pendonor darah yang mencatatkan rekor terbanyak di Magelang, yakni 162 kali, mempunyai latar belakang cukup inspiratif.
Dulu hidupnya selamat karena ada yang menyumbangkan darahnya, tahun 1976 silam. Kala itu, dirinya mengalami kecelakaan sangat fatal di ruas Jalan Magelang-Purworejo, tepatnya di depan pintu masuk Komplek Perumahan Panca Arga 1 Mertoyudan.

“Waktu itu saya usia 25 tahun, lepas mau lulus kuliah, namanya anak muda ya. Naik vespa, pinjam punya kakak saya. Kecepatan tinggi, terus menabrak tepi jembatan mau pintu masuk Panca Arga. Kaki patah dan darah mengucur banyak. Saya kehilangan banyak darah, kemudian dibawa di rumah sakit. Terus ada yang mendonorkan darah, melalui transfusi darah, saya selamat. Entah jika tidak ada transfusi darah, mungkin ceritanya lain,” kata Bambang Istiyanto yang juga mantan Kabag Umum PDAM Kota Magelang ini.
Pria kelahiran Magelang 13 Oktober 1951 silam ini mengungkapkan, peristiwa inilah yang membuatnya berpikir bahwa membantu dan menyumbang kepada orang lain tidak hanya tentang uang semata. Namun, kata Bambang, bisa melalui darah yang didonorkan.
“Untuk itulah, saya berpikir, darah bisa disumbangkan untuk orang lain yang membutuhkan. Misal ada uang, tetapi darah tidak ada, maka kasihan penderita. Darah ternyata lebih memberi manfaat. Saya juga berpikir, dulu saya mengalami kecelakaan dan selamat karena ada sumbangan darah melalui transfusi darah langsung. Lalu saya putuskan rutin mendonorkan darah, tidak terasa sudah 162 kali,” imbuh kakek lima cucu dari tiga anak ini.
Bambang mengaku, dirinya pertama kali berdonor darah di tahun 1980. Bahkan, saat itu dirinya berdonor di Jakarta dan kemudian dilanjutkan di Magelang. “Pertama donor di Jakarta, kemudian di Magelang, di Kota Magelang. Hingga kini donornya di UTD PMI Kota Magelang, satu kali pernah di PMI Kabupaten Magelang. Dulu tiga bulan sekali berdonor, kemudian peraturan baru dua bulan sekali. Pernah satu kali ditolak berdonor karena HB rendah, itu donor yang ke-162 pada 15 Mei. Harusnya pada bulan April, karena donor ke-161 itu 29 Februari,” ucap pemilik golongan darah A ini.
Saat disinggung mengenai piagam penghargaan yang diterima, Bambang mengaku dirinya hanya menerima piagam donor darah ke-75 meski sudah mencapai 162 kali. Piagam donor darah 100 kali dari Presiden, bagi Bambang, bukanlah sebuah pencapaian yang harus dimiliki.
“Saya niatnya ibadah, menyumbang darah untuk sesama. Masalah penghargaan, baik itu piagam atau lainnya, saya ndak berpikir. Sudah biarkan saja. Lagian juga untuk menerima piagam itu di Jakarta, syaratnya sungguh rumit, ada SKCK ada lain-lainnya, mending saya seperti ini saja,” ujarnya sambil tersenyum.
Motivasi tinggi dalam berdonor darah juga ditunjukkan Mayor Inf Ahmad Munir, Kasiminlog Sepa PK Kodiklat TNI. Sejak mulai berdonor darah pada tahun 1991 silam, kini dirinya telah mencapai 154 kali berdonor darah.
“Saat ini sudah mencapai 154 kali, nanti akhir Juni yakni 23 Juni yang ke-155 kali. Saya rutin berdonor dua bulan sekali, saat awal di militer. Saya pada awal berkarir di militer tahun 1991, berdonor darah tiga bulan sekali. Kemudian tahun 1992, saya rutin dua bulan sekali hingga kini,” imbuh bapak satu anak tersebut.
Munir mengaku bahwa setelah mendonorkan darahnya, badannya terasa segar dan jarang sakit. Selain itu, menurut Munir, berdonor merupakan amal yang paling mudah dan semua orang bisa melakukannya. Karena baginya, beramal melalui darah maka kebaikan akan kembali pada diri sendiri.
Munir berharap, masyarakat bisa termotivasi untuk mendonorkan darahnya agar stok darah terpenuhi dan banyak nyawa yang terselamatkan. Dirinya kadang merasa sedih, usai berdonor darah rutin kemudian ada yang membutuhkan darah Golongan O.
“Saya kadang rasanya gimana gitu, sedih. Sudah berdonor rutin sesuai jadwal, beberapa minggu kemudian ada yang membutuhkan darah Golongan O sedang stok menipis. Rasanya bagaimana gitu, mau donor lagi gak boleh karena sudah diambil darahnya. Saya sedih, harusnya stok darah bisa melimpah jika banyak orang tergugah berdonor,” beber laki-laki tegap kelahiran Magelang 12 Desember 1968 silam.
Sukusno Donor Ratusan Kali, Dapat Penghargaan Gubernur
Kondisi fisik H Sukusno masih sehat dan bugar. Ia juga bersyukur, jarang sakit. Tidak punya kolesterol. Hanya sedikit asam urat. Tiap hari ia selalu berkegiatan bisnis. Menjaga toko dan gudang berbagai macam kebutuhan minuman di tepi Jalan Raya Sultan Hadiwijaya Kota Demak. Tenaga fisiknya kuat. Sesekali melayani pelanggan dengan mendorong troli berkardus-kardus minuman berbagai merek.
H Sukusno tercatat di Palang Merah Indonesia (PMI) Demak sebagai pendonor aktif. Tiap tiga bulan sekali melakukan donor darah. Bahkan, ia juga sebagai salah satu penggerak masyarakat agar mau melakukan donor darah. Kebetulan, ia aktif sebagai Wakil Ketua Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Kabupaten Demak. Salah satu kegiatannya adalah kegiatan sosial berupa donor darah.
Secara pribadi, Sukusno tercatat sudah ratusan kali melakukan donor darah. Tidak hanya saat PMI menggelar donor darah. Kegiatan di luar PMI juga diikuti. Bahkan, karena aktivitasnya rutin donor darah, pria kelahiran Demak, 25 Juni 1971 tersebut pernah meraih penghargaan dari Gubernur Jateng Ganjar Pranowo pada 2019 lalu.
Penghargaan itu diberikan Pemprov Jateng lantaran jasanya mau donor darah lebih dari 50 kali. Sebelumnya, Sukosno meraih penghargaan dari Bupati Demak karena donor darah lebih dari 25 kali. “Kalau di PMI Demak sudah sekitar 65 kali saya donor darah. Jika digabung dengan donor darah di luar PMI termasuk di luar daerah, bisa ratusan lebih donor darah,” kata ayah berputra empat ini.
Menurutnya, rutinitas donor darah sudah ia ikuti sejak usia 18 tahun selepas SMA. Apa yang dilakukan itu termotivasi dari banyaknya orang yang sedang sakit dan butuh darah. Bahkan, kerap kali kekurangan darah lantaran stok darah di PMI kerap kosong atau kekurangan.
“Saudara saya pernah butuh darah. Namun, stok darah di PMI tidak ada. Padahal, saya sendiri sering donor darah. Inipula yang memotivasi saya untuk terus donor darah. Selain bisa menolong orang lain yang membutuhkan donor darah, saya memang suka berkegiatan sosial dan berorganisasi,” katanya.
Dengan donor darah, kata Sukusno, dampaknya baik bagi kesehatan. Ibarat kendaraan, donor darah adalah aktivitas yang baik untuk menormalisasi sirkulasi aliran darah agar tetap segar dan sehat. Untuk itupula, keluarganya pun diajak ikut aktif donor darah. “Bisa dibayangkan, kalau mobil saja kerap diservis dan ganti oli supaya kondisi seker mesin tetap normal, kita mestinya bisa melakukan donor darah supaya sirkulasi darah dalam tubuh tetap lancar. Pompa jantung juga enteng (ringan),” katanya.
Untuk pendonor pemula bisa ikut donor jika usia masih di bawah 50 tahun. Lebih dari itu, biasanya tidak akan dilayani. “Kalau saya sudah sejak SMA ikut donor darah, kalau sudah terbiasa, tidak ikut rasanya berbeda,” katanya.
Dirinya kini selalu jaga pola makan. Mengurangi makan makanan yang serba instan. Karena makanan instan bisa mengurangi kadar hemoglobin (HB) menjadi rendah. “Kalau saya sih banyak makanan sayuran dan buah agar kandungan HB darah tetap terjaga baik,” ujarnya.
Tularkan Kebiasaan Donor ke Karyawan
Bagi Sugianto Hartoyo, 54, donor darah layaknya sebuah rutinitas yang tak bisa ia tinggalkan. Sudah hampir 34 tahun lamanya ia rutin menyumbangkan darah ke Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Pekalongan.
Kala itu, usianya masih menginjak 20 tahun, mengetahui bahwa PMI Kota Pekalongan sering kekurangan stok darah. Tanpa banyak berpikir, pemilik perusahaan batik Unggul Jaya ini langsung menunaikan niat baik untuk rutin mendonorkan darah.
“Awalnya karena ingin membantu sesama apalagi sering dengar kalau di Kota Pekalongan kerap kekurangan stok darah,” ungkap pria yang akrab disapa Wawan itu kepada Jawa Pos Radar Semarang, Sabtu (13/6/2020).
Seiring berjalannya waktu, Wawan menyadari bahwa kebiasaan berdonor darah turut mempengaruhi kesehatan tubuhnya. Hal tersebut lantaran ia harus menerapkan pola hidup sehat seperti cukup tidur dan menjaga pola makan supaya bisa memenuhi kriteria pendonor. Di samping itu, sejak rutin berdonor, regenerasi sel-sel tubuhnya juga menjadi lancar.
Banyaknya manfaat yang ia dapat dari berdonor darah, membuat Wawan kemudian turut menularkan kebiasaan baik itu ke karyawan-karyawan di perusahaan batik miliknya. Ya, sudah 20 tahun lamanya ia mengadakan donor darah rutin untuk seluruh karyawan di perusahaannya. Beberapa karyawan seperti penjaga keamanan pun mengaku bahwa sampai saat ini terbiasa donor darah karena merasa tubuhnya menjadi lebih bugar usai mendonor. “Setiap tiga bulan sekali kami rutin adakan donor darah di perusahaan. Kalau sedang terkendala biasanya saya pribadi datang ke PMI,” terang pria bergolongan darah O itu.
Lewat konsistensinya untuk menjadi pendonor, Wawan telah meraih penghargaan sebagai pendonor darah sukarela ke 50 kali dari Gubernur Jawa Tengah. tahun ini ia kembali meraih penghargaan karena telah mencapai angka ke 75 kali. Tak putus sampai di situ, ke depannya Wawan bertekad untuk terus mendonorkan darah. Tak hanya sampai 100 kali tapi sampai kapan pun selama ia mampu.
Dulu Fobia Jarum Suntik, Kini Ketagihan
Banyak cerita di balik kegiatan donor darah. Cerita-cerita itu, tentu saja dialami oleh pendonor terbanyak di Kota Semarang. Misalnya cerita yang dituturkan Yoga Abadi, 47. Jauh sebelum sering mendonorkan darah, ternyata ia pernah fobia jarum suntik. Alih-alih terbelenggu fobia itu, ia justru ketagihan donor darah.
Yoga menuturkan, fobia terhadap jarum suntik ia rasakan sejak Sekolah Dasar (SD). Ketika itu, ia menjalani operasi amandel. Ia disuntik hingga pingsan. Sejak saat itulah ia trauma dan tak mau lagi berhadapan dengan jarum suntik.
Pada tahun 1992, kejadian tak disangka ia alami. Rekan gerejanya sakit lever dan butuh transfusi darah. Darah yang dibutuhkan, segolongan dengan darah Yoga. Keluarga rekannya itu tak kunjung mendapat pendonor. Mendengar kabar itu, jiwa dan rasa kemanusiaannya muncul. Ia mengajukan diri demi menolong rekannya itu.
“Itulah kali pertama saya mendonorkan darah saya. Padahal saya takut luar biasa. Saya masih ingat, waktu itu saya dilayani oleh petugas PMI Kota Semarang bernama Mbak Kar. Saya lihat jarum di tangannya sangat besar. Ketika hendak ditusukkan, mata saya terbelalak. Mbak Kar mengetahui itu lantas tertawa dan berkata saya sedang ketakutan. Tapi saya pura-pura tidak takut. Menepis perkataan dia. Saya berbohong untuk menyugesti diri saya,” ceritanya kepada Jawa Pos Radar Semarang, Sabtu (13/6/2020).
Sejak saat itu Yoga tak takut lagi dengan jarum suntik. Fobianya sembuh. Ia tak menyangka fobianya sembuh ketika beraksi menolong orang. Tak ada hal lain yang terlintas di benaknya usai kejadian itu selain rasa senang dan bangga menolong orang yang merupakan rekannya di gereja.
“Sangat senang sekali. Senang karena menolong orang dan sembuh dari fobia. Itu benar-benar berkesan. Sebab saya telah melawan fobia itu bertahun-tahun dan baru saya kalahkan ketika berdonor darah untuk rekan,” bebernya.
Tak berhenti di sana, Yoga lantas ketagihan berdonor darah. Rasa bangga dan senang menolong oranglah yang membuat rasa ketagihan itu muncul. Ia sangat antusias dengan donor darah. Buku catatan donor darahnya masih ia simpan dengan baik.
“Donor darah untuk rekan saya itu tidak tercatat di PMI. Dua tahun berselang, saya donor kembali, yakni pada 18 Februari 1994. Itu donor darah pertama saya di PMI Kota Semarang dan yang kali pertama dicatat. Terakhir saya donor darah pada 8 Mei 2020. Berarti sudah 26 tahun saya aktif berdonor darah jika dihitung dari catatan PMI itu,” ucapnya.
Selama 26 tahun aktif berdonor darah, dan tercatat telah 120 kali, ia hanya pernah ditolak dua kali. Ketika itu kondisinya sedang terlalu capek. Pernah juga karena Hemoglobin (Hb) darah menurun.
“Selama aktif berdonor kondisi kesehatan saya baik. Tidak pernah ada masalah serius. Tensi terjaga. Saya hanya pernah ditolak dua kali karena tak memenuhi syarat,” katanya.
Pengalamannya pernah fobia jarum suntik ternyata sangat membekas di benaknya. Ia tak menyangka justru ketagihan berdonor darah. Ia aktif di PMI Kota Semarang. Sejak 2017 ia diangkat sebagai Koordinator Donor Darah PMI Kota Semarang. (had/hib/nor/nra/ida)