
RADARSEMARANG.ID – Harapan kami bisa pulang seakan benar-benar pupus setelah tebing itu luluh lantah. Jalan tertutup lumpur, batu-batu besar, dan batang pohon raksasa yang dibawa air bah. Kami berhamburan di bawah hujan. Jerit dan tangis bersahutan. Mencekam.
Wartawan Jawa Pos Radar Semarang sudah berada di Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, sejak pukul 10.00, Rabu (19/1). Sehari sebelumnya, terjadi longsor lima titik di desa tersebut. Dari lima titik itu, dua di antaranya parah. Material longsor betul-betul menutup badan jalan. Lalu lintas Petungkriyono lumpuh sejak semalam.

Rabu itu wartawan koran ini ke lokasi untuk meliput proses pembersihan material longsor. Sebab, memang baru memungkinkan dibersihkan hari itu. Warga bersama tim BPBD, PMI, TNI, dan Polres Pekalongan sudah di lokasi sejak pagi buta.
Tiba di sana, proses pembersihan masih berlangsung. Dengan bantuan alat berat, pembersihan di tiga titik longsor kecil sudah beres. Menyisakan dua titik paling parah.

Pukul 11.30, meski belum betul-betul selesai, jalan di titik itu sudah bisa dilalui. Namun baru bisa untuk sepeda motor. Sekitar pukul 12.00 baru bisa untuk mobil. Namun material longsor belum benar-benar bersih. Alat berat yang diturunkan tak mampu mengangkat batang pohon raksasa. Warga harus memotong sampai beberapa bagian terlebih dahulu.
Pukul 12.15, hujan turun sangat deras. Proses pembersihan dihentikan sementara. Tim SAR gabungan dan lainnya turun ke Dukuh Tinalum, beristirahat di sebuah warung dekat Curug Sibedug. Lalu lintas tampak sudah normal. Sepeda motor maupun mobil sudah bisa melintas baik dari dan ke arah Petungkriyono.
Tak lama dari itu, mereka bersiap-siap turun dari Petungkriyono. Termasuk wartawan koran ini. Baru melaju 100-an meter, pengendara-pengendara dari arah berlawanan mengabarkan ada longsor di Dukuh Sokokembang.
“Tapi sepeda motor masih bisa lewat, Mas. Cepat, sebelum lebih parah,” seru salah satu pengendara.
Terlambat. Batu-batu besar dan longsoran lain sudah menutup jalan. Sungai yang tertimbun longsor, membuat air meluap sampai ke jalan. Arusnya sangat deras. Semua pengendara berhenti. Relawan berdatangan. Suasana gaduh. Mobil dan sepeda motor diparkir di pinggir jalan. Ada yang belum tahu ada longsor dan masih melaju. Warga dan relawan berteriak. “Mundur! Tidak bisa lewat! Longsor!”
Kapolres Pekalongan AKBP Arief Fajar Satria yang terakhir wartawan koran ini lihat masih beristirahat di Dukuh Tinalum, tiba-tiba sudah berada di Sokokembang. Ia ikut mengamankan kendaraan yang kadung dekat dengan lokasi longsor. Hujan masih deras. Deras sekali.
“Sudah berhenti dulu! Berteduh dulu. Bahaya,” teriaknya.
Orang-orang mengamankan diri. Ada yang di musala dekat sana. Ada yang di warung kopi. Itulah satu-satunya warung kopi di sana. Sehingga berjubel orang. Begitupun di musala.
Tim SAR gabungan dan relawan mencoba membendung dan mengalihkan arus air. Tapi tak berhasil. Mereka menarik diri dan memutuskan untuk menunggu hujan reda atau sampai arus tidak terlalu deras.
Di musala, orang-orang tampak cemas. Ada perempuan menangis. Ternyata dia seorang perias pengantin. Ia sudah berada di Petungkriyono sejak Selasa (18/1). Ia warga Kecamatan Talun yang hendak pulang.
“Saya habis merias. Selasa itu mau pulang. Tapi katanya ada longsor dan tidak bisa lewat. Jadi nginep semalam di rumah pemilik hajat. Ini mau pulang, malah ada longsor lagi,” ucapnya sambil menangis.
Ada pula sekelompok ibu-ibu. Salah seorangnya menggendong bayi. Ternyata mereka satu kerabat. “Kami baru saja kondangan di Petung (Petungkriyono). Ini mau pulang. Malah begini,” keluhnya.
Di warung kopi, sebagian besar laki-laki. Kapolres Pekalongan berserta ajudan dan tim Humas Polres Pekalongan berada di sana. Dibanding di musala, di warung kopi tidak banyak wajah-wajah cemas. Sementara relawan, masih terus berjaga-jaga memantau sekitar.
Sampai pukul 15.00 hujan masih deras. Belum ada tanda-tanda bantuan akan datang. Listrik padam. Sinyal HT polres tidak tersambung. Sinyal internet dan selular juga tak ada. Orang-orang makin cemas.
Ada opsi keluar dari Petungkriyono dengan cara putar balik ke arah Banjarnegara. Tapi orang-orang tidak berani. Selain karena hujan masih deras, jalur itu sangat panjang. Untuk bisa sampai Kajen, butuh waktu tempuh kurang lebih tiga jam. Lokasi longsor di Dukuh Tinalum yang beberapa jam lalu baru saja dibersihkan juga masih rawan. Suasana makin mencekam. Harapan kami bisa pulang masih ada.
Di saat orang-orang diselimuti kebimbangan akan bertahan atau putar balik itu, terdengar suara gemuruh dari kejauhan. Orang-orang yang berada di dekat lokasi longsor tiba-tiba berlari ke arah selatan. Wartawan koran ini yang berada di warung kopi benar-benar melihat pohon-pohon besar seperti berjalan sebelum ambruk. Ternyata itu longsor susulan.
“Mundur!!!” Yang terdengar hanya teriakan itu. Entah dari mulut siapa saja.
Kapolres Pekalongan yang berusaha lari keluar dari warung kopi tampak terpeleset di selokan. Wartawan koran ini menarik tangannya. Kami berlari ke tempat aman. Saat itu, semua orang di sana benar-benar tampak panik. Ibu-ibu menangis. Banyak wajah-wajah pucat. Entah karena kedinginan, entah karena shock.
Beruntung tak ada korban. Hanya saja, kendaraan-kendaraan yang berada di dekat titik longsor nyaris terhantam batang pohon dan batu-batu. Keadaan sedikit tenang, orang-orang saling membantu memindahkan sepeda motor dan mobil-mobil itu.
Wartawan koran ini mendekat ke lokasi longsor. Kondisinya jadi sangat mengerikan. Tebing di dekat sana terbelah. Air bah mengalir lebih deras. Warnanya kini coklat pekat. Belahan longsor yang semula hanya lima meter menjadi kurang lebih 50 meter. Aspal jalan sudah tidak terlihat tertutup lumpur, batu, dan batang pohon yang terbawa air bah. Semuanya luluh lantah.
Kejadian itu seakan menenggelamkan harapan kami untuk bisa pulang, keluar dari Petungkriyono. Putar balik tak mungkin, karena ternyata di Dusun Tinalum juga ada longsor susulan. Hujan masih deras. Kami, ratusan orang ini, benar-benar terjebak. Saat itu, kami cuma bisa berpasrah dan berdoa di bawah hujan. (nra/aro)