32 C
Semarang
Selasa, 21 Maret 2023

Omzet Rp 45 Juta per Bulan, Tak Pelit Berbagi Ilmu Berkebun

Didi Setiadi, Sarjana Pendidikan yang Memilih Jadi Petani Bunga Garbera WARNA-WARNI: Hamparan tanaman bunga Garbera di green house milik Didi Setiadi. (kanan) Didi Setiadi yang memilih menjadi petani ketimbang guru. (FOTO-FOTO: LISA MUSAFIIN/JAWA POS RADAR SEMARANG)

Artikel Lain

RADARSEMARANG.ID, Didi Setiadi adalah sarjana Pendidikan Universitas Sanata Dharma Jogjakarta. Namun ia memilih menjadi petani bunga Garbera. Hasilnya pun tak sedikit. Dalam sebulan, omzetnya mencapai Rp 45 juta.

LISA MUSAFIIN, Ungaran, Radar Semarang

Kebun bunga itu terlihat warna-warni di antara hijaunya perbukitan. Ribuan bunga Garbera sedang bermekaran di lahan seluas 2.000 meter persegi tersebut. Bunga yang memiliki tangkai panjang itu membentuk formasi yang indah di atas deretan terasering.

Kebun bunga itu milik Didi Setiadi, 26. Lokasinya di Desa Candi Garon, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang. Ia memilih menanam bunga Garbera sebagai ladang bisnisnya.

Awalnya, pria kelahiran 24 September itu merupakan guru di salah satu SMP di Sumowono. Belum genap setahun menjadi guru Bahasa Indonesia, ia memilih pensiun pada 2017. Ia fokus menjadi petani bunga. Didi –sapaan akrabnya—sejek kecil sudah cinta dengan bunga. Ia lebih nyaman berkebun ketimbang berkutat dengan buku dan pena.

“Saya nggak mau merendahkan seorang guru ya, tapi ini tentang kenyamanan. Saya sudah nyaman dengan kebun sejak kecil,” terang pria yang suka mengenakan kupluk atau penutup kepala beanie hat ini.

Didi mengaku, meski bergelar sarjana pendidikan, ia tidak memiliki suatu keharusan untuk menjadi seorang pendidik. Baginya, pendidikan itu penting. Hanya saja, untuk ke depannya bebas menentukan profesi apa yang akan dipilih.

“Pendidikan itu penting, tapi jangan memaksakan harus jadi ini, harus jadi itu. Lakukanlah apa yang kamu cintai, dan cintailah apa yang kamu lakukan,”katanya bijak.

Kebun bunga Garbera yang dikelolanya terbagi dalam empat lokasi berbeda, namun masih dalam satu wilayah. Ada enam varian bunga Garbera, yakni merah, merah muda, fanta, salem, oranye, kuning, dan putih.

Baca juga:  Pandemi Permintaan Naik, Kirim sampai ke Thailand

Didi mengaku tertarik menanam bunga sejak anak-anak. Orang tuanya juga petani bunga. Tak heran, jika sejak kecil ia sudah akrab dengan kebun bunga. Pada 2012, Didi memutuskan untuk menanam bunga Garbera. Dia belajar langsung dari orangtuanya. “Kalau orangtua saya belajar menanam bunga Garbera di Jawa Barat,” ujarnya.

Saat itu, ia masih kuliah. Namun tak menjadi kendala bagi Didi dalam berkebun. Ia selalu menyempatkan pulang menengok kebun bunganya. Ia juga masih dibantu kedua orangtuanya. Baru pada 2016 selepas menyelesaikan studinya, Didi lebih fokus dalam berkebun.

Didi memilih bunga Garbera, karena jenis bunga ini masih jarang ditanam di wilayah Sumowono. Selain itu, permintaan bunga Garbera sangat tinggi. Tentu saja, itu menjadi peluang bisnis yang menggiurkan. Didi mengusung nama Setia Farm dalam bisnisnya. Nama itu memiliki makna mendalam. “Dari nama itu, saya berharap bisa menjadi petani yang setia untuk menjamin kualitas produk selalu baik, serta konsumen tetap setia untuk berlangganan dengan saya,” jelasnya.

Dikatakan, menanam bunga Garbera tidak seperti tanaman lainnya. Didi harus membangun green house (rumah kaca) menggunakan rangka besi dan tiang beton agar tahan lama. Untuk atapnya, ia menggunakan plastik ultraviolet. Green house yang dibangun bertipe Piggy Back, yakni tipe yang cocok digunakan di wilayah tropis. Hal ini dilakukan agar mengurangi hama, tahan dari berbagai cuaca, penyerapan panas matahari yang cukup, dan tentunya menjaga kualitas bunga yang dihasilkan.

Model kebunnya dibuat terasering atau berundak agar memudahkan dalam perawatan dan pemetikan. Lahan yang akan ditanami dicangkul terlebih dahulu, kemudian dicampur dengan pupuk kandang. Setelah itu barulah dibentuk bedengan. Untuk benih bunga Garbera, Didi membeli langsung dari Jawa Barat. Bunga Garbera sendiri bisa terus berbunga hingga beberapa tahun asalkan mendapat perawatan yang baik. “Jadi, saya tidak sering membeli benih bunga Garbera, karena tanaman ini bisa berbunga berkali-kali,” katanya.

Baca juga:  Omzet Jutaan Rupiah, sedang Siapkan Green House

Masa panen bunga Gerbera membutuhkan waktu sekitar 4 bulan. Selama itu, butuh penyemprotan obat, penyiraman seminggu sekali, dan pemupukan sebulan sekali. Panen dilakukan seminggu tiga kali, yakni Senin, Kamis, dan Sabtu. Dalam seminggu, ia bisa memanen sebanyak 8 ribu-10 ribu tangkai bunga. Cara pemanennya pun ada teknik tersendiri, yaitu bunga yang benar-benar sudah mekar sempurna, dan harus menggunakan tangan langsung. Tidak boleh dipotong, tapi dipetik pada pangkal pohon secara perlahan. “Kalau pakai gunting hasilnya beda nanti. Ndak tahan lama. Saya itu menekankan pada kualitas, jadi tidak sembarangan,” ujarnya.

Setelah dipetik bunga akan dilingakari kertas agar bunga tidak tergesek satu sama lain untuk menjaga bunga tidak rusak. Lalu diikat per 10 tangkai bunga.

Keunggulan dari bunga Garbera miliknya dibanding hasil kebun petani lain, yaitu bisa tahan hingga dua minggu setelah pemetikan yang umumnya hanya sekitar seminggu. Untuk harga per ikatnya kisaran Rp10 ribu- Rp25 ribu. Dalam sebulannya, Didi bisa mengantongi pendapatan Rp 35 juta-Rp 45 juta.

Diakui, dalam bisnis pasti ada kendala. Mulai kebutuhan modal ratusan juta untuk membangun Green House, harga pestisida yang semakin mahal, hingga harga jual bunga yang tidak menentu. Selain itu, Didi mengaku pernah ditipu hingga puluhan juta rupiah. Namun hal itu tak membuatnya putus asa. Baginya, semua itu pasti ada jalannya. “Kalau saya stay cool saja, besok kan bunganya tumbuh lagi, dan bisa dijual lagi. Allah tambahkan lebih banyak,” katanya.

Baca juga:  Hasilkan Ribuan Varietas Baru, Siap Bidik Pasar Ekspor

Saat awal pandemi Covid-19 pada 2020 lalu, selama 3,5 bulan sejak Maret hingga pertengahan Juni, ia terpaksa membuang ratusan ribu tangkai bunga Garberanya karena tidak laku. Tapi lagi-lagi ia tak kenal kata menyerah. Padahal, waktu itu banyak petani bunga yang bangkrut, dan berhenti menanam bunga. Tapi, sebagai pembisnis, ia harus pintar memutar otak. Karena sudah berbisnis bunga sejak 2012, ia memiliki cukup tabungan untuk menutup biaya operasionalnya. Didi juga tetap melakukan perawatan seperti biasanya, yakni pemupukan, pengobatan, dan penyiraman secara rutin.

Seperti ungkapan, hasil tidak akan menghianati usaha. Akhirnya, perjuangan kerasnya membuahkan hasil. Meski dalam situasi pandemi Covid-19, ia masih mendapat keuntungan yang cukup besar. Ia mempromosikan hasil kebunnya lewat akun Instagram. Selain itu, ia juga menjualnya langsung di Pasar Bandungan, Kabupaten Semarang. “Kebanyakan pembeli datang dari wilayah Pati, Demak, Kudus dan Jepara. Saya juga bergabung dengan salah satu Wedding Organizer (WO) di Jogjakarta,” akunya.

Selain sibuk berkebun Didi masih menyempatkan diri memberikan edukasi kepada para petani bunga pemula. Baginya, berbagi itu tidak mengurangi suatu hal apapun. Ia juga tidak merasa tersaingi. Bahkan, menurutnya, hal itu menjadikan kemajuan terhadap bisnis bunga yang kemudian dikenal banyak orang. “Intinya itu tekun, konsisten, amanah dan jangan pelit berbagi ilmu. Dan yang paling penting adalah semua usaha harus diiringi dengan doa,” katanya bijak. (*/aro)


Baca artikel dan berita terbaru di Google News


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya