
RADARSEMARANG.ID, Pandemi Covid-19 membawa berkah bagi Urip Warsono dan Sri Haryani. Pasangan suami istri difabel ini menjadi perajin pot tanaman hias dengan bahan sabut kelapa. Produknya laris manis seiring dengan tren warga yang hobi menanam selama pandemi.
RIRI RAHAYUNINGSIH, Mungkid, Radar Semarang

Bisnis pot sabut kelapa yang ditekuni Urip Warsono dan istrinya dilakukan secara tak sengaja. Mulanya dia hanya mengunggah foto pot dari sabut kelapa milik saudaranya di status WhatsApp. Ternyata banyak yang tertarik.
“Banyak yang bertanya dari mana pot unik tersebut dibeli?” katanya saat ditemui Jawa Pos Radar Magelang di rumahnya di Bumisegoro, Borobudur, Selasa (8/6) lalu.

Urip kemudian mempelajari struktur pot tersebut, dan mencoba memproduksi sendiri. Hasilnya, ia posting di status WA. Ternyata respons masyarakat cukup tinggi. Ia pun memproduksi lebih banyak lagi. Pesanan mulai berdatangan.
Semua pot milik Urip diproduksi secara manual bersama istrinya. Mulai dari penguraian sabut kelapa hingga pembentukan pot. Bahan baku sabut kelapa didapat secara cuma-cuma dari tetangga yang bekerja sebagai pemborong kelapa. Dia hanya membeli strimin kawat untuk kerangka, benang sol sepatu untuk menjahit pot, dan kawat untuk pengait.
“Saya ingin memanfaatkan limbah sabut kelapa yang banyak terbuang. Ingin menjadikannya lebih berguna,” ujar Urip “Sebelum saya jual, saya uji coba dulu pakai tanaman saya sendiri,” imbuhnya sembari menghisap rokok.
Sembari berjalan menggunakan tongkat, dia pun menunjukkan pot-pot buatannya kepada wartawan koran ini. Ada berbagai macam bentuk. Mulai dari bulat, setengah lingkaran, kotak, hingga bentuk seperti contong es krim. Ia mengusung brand “Griya Handycraft Disabilitas.”
Dikatakan, setiap 10 butir sabut kelapa bisa menghasilkan 20 pot bunga. Untuk proses pembuatannya, mula-mula Urip merendam sabut kelapa lalu memukul-mukul menggunakan kayu. Tujuannya, agar serbuk sabut kelapa rontok dari serat-seratnya. Selanjutnya, serat sabut kelapa dipilah dan dikeringkan. Setelah itu, dimasukkan ke dalam kerangka strimin kawat, dan dijahit menggunakan benang sol sepatu. Proses produksi pun selesai, dan pot limbah sabut kelapa siap dijual. “Kalau masukin ke kerangka, cepat. Sepuluh menit bisa jadi,” ujar Sri.
“Yang lama itu waktu memilah serat kelapanya,” sambung Urip.
Dia pun berharap mendapat bantuan mesin pengurai sabut kelapa dari pemerintah.
Ditanya pemasaran pot sabut kelapa buatannya, Urip mengaku menjual pot-potnya melalui status WhatsApp. Kebanyakan pembeli maupun pemesan berasal dari teman Urip serta koleganya. Dia juga mengaku sering dibantu promosi oleh Dinas Perdagangan Koperasi dan UKM Kabupaten Magelang.
Selain mengandalkan penjualan dari WhatsApp atau menunggu pesanan, saban minggu Urip juga membuka lapak di Lapangan Soepardi, Sawitan, Kota Mungkid. Dalam sehari, dia bisa menjual lima hingga 10 pot. Harganya mulai dari Rp 25 ribu hingga 30 ribu. (*/aro)