
RADARSEMARANG.ID, Menjadi pelatih lumba-lumba butuh perjuangan dan pengorbanan yang tak sedikit. Seperti dialami Hesdi Sukendro, kepala pelatih lumba-lumba di Pantai Cahaya Rowosari, Kendal.
BUDI SETIYAWAN, Kendal, Radar Semarang

SUDAH 20 tahun lebih, Hesdi Sukendro menggeluti pekerjaan sebagai pelatih hewan mamalia laut yang cerdas ini. Bahkan, baginya lumba-lumba di Pantai Cahaya itu sudah dianggap seperti anak sendiri. Sebab, sebagai pelatih, hal dasar yang harus dilakukan adalah mengenali kebiasaan hingga makanan yang harus diberikan kepada empat ekor lumba-lumba di Pantai Cahaya.
“Seperti kapan waktu mereka makan dan jumlah porsi makanan yang harus dikonsumsi? Berapa ekor ikan kecil yang dikonsumsi, saya harus paham,” katanya kepada Jawa Pos Radar Semarang, kemarin.

Menurutnya, porsi makanan ini menjadi dasar bagi semua pelatih. Sebab, saat kurang makan atau kebanyakan makan, maka lumba-lumba itu akan lemas. “Kalau lemas, maka lumba-lumba ini akan malas-malasan saat diajak untuk pertunjukan,” tuturnya.
Pun dengan jenis ikan yang dikonsumsi. Menurutnya, lumba-lumba menyukai ikan segar dan ikan yang tidak banyak sisiknya. “Lumba-lumba ini menyukai ikan yang lembut dan masih segar. Kalau saya kasih makan asal ikan, lebih-lebih yang banyak sisiknya, lumba-lumba itu seperti mengalami sakit perut,” jelasnya.
Biasanya, lanjut dia, saat sakit perut, lumba-lumba itu mengalami diare sama seperti manusia. Selain itu, lumba-lumba yang sakit, biasanya menunjukkan gelagat yang tidak seperti biasanya. “Mereka seperti terlihat murung dan sedih, tidak bersemangat. Kalau diajak main seperti malas-malasan,” lanjutnya.
Kalau sudah seperti itu, biasanya ia memanggil tim dokter untuk memeriksa lumba-lumba itu. “Biasanya dikasih obat diare sama seperti manusia,” katanya.
Makanan, menurutnya, menjadi kunci lumba-lumba saat akan atraksi. Terutama saat melatih lumba-lumba agar menuruti aba-abanya. “Kalau lumba-lumba hepi, maka akan bersemangat saat dilatih,” ujarnya.
Tapi untuk melatih, menurutnya, juga bukan hal gampang. Sebelum melatih, menurutnya, harus membangun kesamaan hubungan. Sehingga saling mengenal dan ada chemistry yang terbangun. “Sebagai pelatih harus memahami kapan mereka harus berlatih, kapan waktu atraksi, dan kapan harus beristirahat. Sehingga tidak boleh memaksa,” tuturnya.
Dikatakan, untuk melatih lumba-lumba harus meluangkan waktu betul seperti mengajari anaknya sendiri. “Makanya bagi saya mereka itu sudah saya anggap seperti anak sendiri. Mereka butuh perhatian dan kasih sayang,” akunya.
Ia membantah, anggapan jika lumba-lumba sebelum dipentaskan harus dibuat lapar atau dipaksa. Menurutnya, hal itu tidak benar. Lumba-lumba harus dalam kondisi sehat dan tidak lapar, baru mereka bisa atraksi dengan sempurna. “Jadi, tidak bisa dipaksa-paksa,” tandasnya.
Perihal makanan yang diberikan saat atraksi, menurutnya, itu adalah kebiasaan. Sebab, kebiasaan mereka saat berlatih harus diberikan makanan sebagai stimulus. “Artinya, kita memberikan apresiasi berupa hadiah, karena mereka berhasil melakukan hal yang pelatih inginkan,” tambahnya.
Butuh waktu lama untuk mengajari lumba-lumba itu untuk diajak atraksi. Paling tidak, minimal butuh waktu dua tahun. “Jadi harus secara bertahap sampai mencapai titik yang diinginkan,” katanya.
Sukendro mencontohkan, mengajari lumba-lumba menyundul bola atau melompati holahop, maka pelatih akan memberikan stimulus makanan hingga lumba-lumba itu mengetahui aba-aba. “Ketika mereka (lumba-lumba) berhasil, harus diapresiasi dengan makanan,” ujarnya. (*/aro)