
RADARSEMARANG.ID, Sejak zaman Walisongo, wayang dipakai sebagai media berdakwah. Hal itu juga dilakukan R. Marsudi saat ini. Guru SD Negeri Pongangan, Gunungpati, Semarang ini menggunakan media wayang dan musik setiap kali berdakwah.
JOKO SUSANTO, Radar Semarang

R MARSUDI sehari-hari menjadi guru SD Negeri Pongangan, Gunungpati. Ketua Ranting Nahdlatul Ulama (NU) Kelurahan Pakintelan ini juga seorang pedakwah. Ia biasa diundang untuk berceramah di sejumlah acara. Seperti pernikahan, sunatan, haul, peringatan hari besar Islam, halalbihalal, dan sebagainya. Agar apa yang disampaikan mudah dipahami dan menarik, Marsudi biasa menggunakan media wayang.
Ia memiliki sedikitnya empat jenis wayang, mulai wayang klasik, wayang golek, hingga wayang modern atau kontemporer. Ada juga wayang ponpes, yang terdiri atas tokoh kyai, santri, ustad, setan, dan lainnya. “Koleksi wayang saya jumlahnya puluhan. Semuanya saya gunakan untuk media berdakwah,” katanya kepada Jawa Pos Radar Semarang.

Pria kelahiran Semarang, 26 Desember 1963 ini mengaku, menjadi pedakwah sebenarnya bukan cita-citanya waktu kecil. Bermula saat Marsudi yang akrab dengan nama panggung Ki Sabdo Carito ini sering diminta mengisi ceramah di depan jamaah lokal di Kelurahan Pakintelan. Lama-lama namanya semakin dikenal. Undangan ceramah terus berdatangan. Tak hanya di Semarang, ia juga kerap mendapat undangan berceramah di luar kota, seperti Ungaran, Salatiga, Demak, Kendal, Temanggung, Klaten, dan lainnya.
Nah, seiring berjalannya waktu, Marsudi terus belajar. Ia kerap melihat berbagai ceramah pengajian umum lewat media Youtube, ditambah menonton pergelaran wayang kulit. Dari situlah muncul ide menggunakan media wayang dalam ceramahnya. Ia mulai menggunakan media wayang pada 2017. Ternyata para jamaahnya merespon positif. Ia memadukan ceramah dan hiburan yang dikemas dalam guyon maton.
“Sekaligus nguri-uri budaya Jawa, toh juga metode ini merupakan peninggalan para wali. Tapi sayang mulai banyak ditinggalkan. Konsep dakwahnya, perpaduan ilmu, amal, dan budaya. Cuma memang tidak semua pengajian memakai wayang. Banyak juga yang ceramah sendirian tanpa pengiring,”ujar Marsudi
Suami dari Kartini ini sengaja menggunakan dakwah model tersebut, karena mudah diterima masyarakat. Juga lebih mudah dipahami pesan moralnya. Setiap tampil, ia selalu menyelipkan pesan moral kepada jamaahnya. “Dengan mengaji, orang mendapatkan ilmu dan bisa lebih paham agama. Dengan begitu bisa tambah kuat imannya, dan bisa diamalkan,” kata ayah empat anak ini.
Setiap kali ceramah tanpa wayang, dengan durasi 1 sampai 1,5 jam. Sedangkan kalau komplit wayang, musik, dan lawak, bisa sampai 2,5 jam. “Untuk dakwah sendiri sudah saya lakukan sejak 2015, tapi pakai metode wayang sejak 2017,”ujarnya.
Saat berceramah, ia tidak pasang tarif. “Pokoknya, seikhlasnya,” katanya.
Namun untuk pengiring musik, diakuinya, ada tarif khusus sesuai jumlah pemain yang mengiringi. Besarannya berdasarkan kesepakatan dengan yang mengundang. Termasuk untuk hiburan Gareng, Petruk dan Bagong.
“Kalau pengundangnya tidak mampu, gratis. Cuma untuk pengiring, karena asalnya dari daerah lain, maka perlu biaya transport saja,” ujar Ketua Jamaah Langgeng Samudera ini.
Ia sendiri belajar ilmu agama dari gurunya asal Temanggung, Kiai Muhammad Arif dan sejumlah kiai lainnya. Adapun seni wayang diperoleh dari belajar otodidak dan kreativitas sendiri.
Berbagai pengalaman menarik pernah dialami. Salah satunya saat ceramah di Jimbaran dan Sumowono, Kabupaten Semarang. Ada jamaah yang namanya persis dengan dirinya. Di situlah dijadikan sebagai bahan candaan, hingga pemilik nama sama itu tertawa terpingkal-pingkal. Untuk materi ceramah, selain dipersiapkan, juga menbutuhkan improvisasi dari situasi jamaah secara langsung. “Jadi metode ceramah ini lebih mudah dipahami, sekaligus nguri-uri budaya jawa, yang saat ini mulai dilupakan generasi milenial,”ujar alumnus Psikologi Pendidikan dan Bimbingan IKIP PGRI Semarang (saat ini Universitas PGRI Semarang).
Marsudi menerima undangan ceramah di sela libur mengajar. Saat ini, ia juga tercatat sebagai Ketua Takmir Masjid Irsyadul Jami, Ketua RW 3 Kelurahan Pakintelan dan Dewan Pengawas Lembaga Bantuan Hukum Rumah Pejuang Keadilan Indonesia.
Atas kiprahnya ini, Marsudi pernah mendapat kenang-kenangan berupa piandel Kanjeng Sunan Giri atau Raden Ainul Yaqin, serta Keris Sumpono Carito dan Wayang Semar Bodronoyo yang hingga kini masih terawat. (*/aro)