
RADARSEMARANG.ID, Perairan Jawa menjadi tempat mata pencaharian para nelayan. Namun sayangnya tak jarang para nelayan menangkap ikan yang notabene terancam punah. Seperti ikan hiu dan pari. Dua dosen Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang (Unnes) Dr Ning Setiati dan Dr Partaya mencoba meneliti perburuan ikan tersebut. Seperti apa?
ADENNYAR WYCAKSONO

IKAN hiu dan pari merupakan salah satu komoditi yang cukup diperhitungkan. Permintaan kedua jenis ikan itu semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data Food and Agriculture Organization (FAO) 2018, produksi rata-rata ikan hiu dan pari pada 2000-2016 di Indonesia mencapai 114.105 ton. Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tangkapan hiu dan pari tertinggi di dunia.
“Pada tahun 2016 lalu, saya mencatat data produksi ikan hiu dan ikan pari yang didaratkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pantura Jawa Tengah mencapai 1.106 ekor,” beber Dr Ning Setiati kepada Jawa Pos Radar Semarang.

Jumlah tersebut, lanjut dia, terdiri atas ikan pari berjumlah 666 ekor dan ikan hiu berjumlah 440 ekor. Sementara produk ikan hiu dan ikan pari asal Indonesia mencapai 103.245 ton pada 2011, turun sekitar 20,32 persen menjadi 12.622 kg sirip hiu dalam satu tahun, dari 15.840 kg pada 2014.
“Melihat besaran angka tersebut diperlukan adanya upaya konservasi untuk melindungi keberadaan hiu dan pari di perairan Indonesia. Indonesia merupakan pemasok sekitar 12,31 persen total produksi hiu dan pari dunia,” jelasnya.
Penelitian yang dibiayai dana DIPA Unnes 2019 ini mendapatkan data ada sekitar tujuh jenis hiu dan ikan pari yang menjadi buruan. Di antaranya, hiu tokek, lanjaman, cakilan, hiu abu-abu, dan lainnya. Sementara untuk ikan pari ada beberapa jenis, yakni pari beting, pari burung, pari bendara dan lainnya. Tingginya permintaan hiu dan pari ini, lanjut dia, biasanya digunakan sebagai bahan makanan, kosmetik, dan obat-obatan.
“Seiring tingginya permintaan dan bertambahnya nilai jual membuat nelayan berlomba menangkap ikan hiu dan pari tanpa memperhatikan jenis maupun ukuran layak tangkap. Ikan berukuran kecil tidak dibiarkan tumbuh dan tidak menyisakan ikan-ikan yang masih berpotensi untuk berkembang biak,” katanya.
Sepanjang 2019 lalu, lanjut dia, jumlah tangkapan seluruhnya di TPI Pantai Utara Jawa Tengah pada 2019 tercatat 1.587 ekor hiu dan pari. Padahal, dua ikan ini memiliki sifat pertumbuhan yang lamban, memiliki umur panjang dan matang secara seksual pada usia yang relatif tua. Lebih parahnya, adalah hiu dan pari hanya menghasilkan sedikit anak.
“Harus ada tindakan tegas sebagai upaya konservasi dan regenerasi populasi ikan ini. Kita bisa mencontoh Kabupaten Raja Ampat yang menerapkan larangan perburuan hiu dan pari manta,” ujarnya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, ada beberapa jenis hiu dan pari yang masuk dalam kategori terancam, rentan hingga kritis. Misalnya, untuk kategori hampir terancam kepunahan, ada pari bendera, pari duri, hiu slendang dan hiu bambu. Sedangkan pari cambuk, pari batu, pari duri, hiu pasiran, dan hiu tikus masuk dalam kategori rentan, karena bisa saja menghadapi kepunahan di waktu yang akan datang. Sementara untuk hiu cakilan dan hiu martil masuk dalam kategori terancam punah. Untuk pari biola dan pari gitar masuk dalam kategori kritis dan menghadapi risiko kepunahan dalam waktu dekat.
“Meski sudah ada larangan, banyak nelayan yang nekat menangkap hiu dan pari yang dilindungi, bahkan lebih parahnya lagi diperdagangkan di TPI Pantai Utara Jawa Tengah,” katanya. (*/aro)