
RADARSEMARANG.ID, Merintis bisnis kuliner tradisional memang tidak mudah. Apalagi bisa bertahan dari gempuran inovasi makanan khas milenial yang menjamur di pasaran. Namun Subandi berhasil mempertahankan bisnis jajanan Pisang Plenet yang sudah hampir 70 tahun memanjakan lidah masyarakat Semarang.
Dewi Akmalah. RADARSEMARANG.ID

TIDAK ada yang istimewa. Bermodal gerobak, Subandi dengan setia membakar pisang untuk memenuhi pesanan pelanggannya. Olahan pisang plenet yang ia buat selalu diserbu pengunjung. Tua, muda, bersepeda motor maupun bermobil, rela antre di depan gerobaknya di depan Gedung Sri Ratu Jalan Pemuda Semarang.
Dia mengaku sudah puluhan tahun berjualan pisang plenet. Saat ini, sudah memiliki banyak pelanggan. Meski digempur kuliner yang lebih modern dan kekinian, tidak membuat jajanan tradional khas Semarang yang diresepkan kakeknya tersebut kehilangan eksistensi.

Resep jajanan ini awalnya diciptakan sang kakek yang merasa bosan dengan cemilan yang berbahan baku singkong atau ubi. Lantas sang kakek melakukan inovasi dengan membakar pisang dan diplenet (ditekan) hingga pipih. Kemudian diberi taburan rasa seperti mentega, gula, selai nanas, dan taburan coklat. Ternyata rasanya enak. “Dari kakek, saya berinisiatif menjual olahan tersebut. Alhamduillah bisa menjadi bisnis turun temurun,” ujarnya ketika dijumpai saat menjajakan olahan pisang plenetnya.
Bisnis pisang plenet sederhana bisa bertahan sejak 1950 ini, diakuinya, mengaku tidak ada yang spesial. Semuanya biasa saja dan bisa dipelajari oleh siapapun.
Bahkan dia tak pelit memberikan rahasia. Bahwa ia selalu menggunakan pisang kepok yang dibungkus daun pisang untuk mengolah dagangannya. Dengan perpaduan tersebut dan setelah dibakar, aroma yang tercium akan berbeda. Itulah yang membuat dagangannya selalu laris bahkan sebelum pukul 21.00 semua pisang yang ia bawa habis terjual.
“Biasanya dalam sehari bisa menjual 12 lirang atau kurang lebih 144 biji pisang. Tapi semua tergantung sepi tidaknya pembeli. Kalau ramai ya bisa habis, bahkan sebelum jam sembilan malam. Tapi kalau sepi ya tidak habis, meskipun sudah jualan sampai jam 12 malam. Semua tergantung, namanya jualan pasti ada naik turunnya,” lanjutnya.
Setiap hari, pria kelahiran 1956 ini biasa menjajakan dagangannya mulai pukul 14.00 hingga 24.00. Namun saat ini karena terkendala usia dan kesehatan yang mulai menurun, tak jarang sebelum pukul 22.00 sudah menutup dagangan. Terkadang sang anak dan keponakannya menggantikan dirinya berjualan jika sedang tidak enak badan. Bahkan, beberapa anggota keluarganya, mulai kakak, saudara, anak hingga keponakan mulai menjanjakan makanan bercita rasa manis legit ini. Hingga saat ini, terdapat 5 titik yang menjual pisang plenet dengan resep asli dari kakeknya.
“Saat ini ada 5 titik termasuk milik saya menjual dagangan yang sama. Pertama di Jalan Gajahmada, Semawis dan Jalan Pemuda. Yang di Jalan Pemuda dan Semawis ada dua titik,” lanjutnya.
Meskipun di tengah gempuran inovasi kuliner yang kian menggila, dirinya berharap eksistensi makanan khas Semarang yang diciptakan kakeknya tetap eksis dan bertahan. Sehingga dapat memberikan warna dan keaslian kuliner khas Semarang yang dapat dirasakan generasi penerus. Syukur-syukur, jika bisa dilestarikan. (*/ida)