
RADARSEMARANG.ID, Semarang – Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang Kota Semarang sudah lama mengalami overload. Setiap hari sedikitnya 800 -850 ton sampah warga Kota Semarang dipasok ke TPA ini. Untungnya, Pemkot Semarang terus melakukan inovasi dalam pengolahan sampah di TPA.
Jika sebelumnya sampah diubah menjadi gas, kemudian dijadikan listrik, atau pembangkit listrik tenaga sampah (PLTsa) . Saat ini, sedang dibuat sistem Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL).

“Memang di TPA Jatibarang ini ada empat zona. Di mana zona terakhir ini kita buka dan masih bisa menampung. Namun secara keseluruhan bisa dibilang TPA Jatibarang ini overload,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Semarang Bambang Suranggono kepada Jawa Pos Radar Semarang.
Satu zona tambahan itu, kata Bambang, dikhawatirkan tidak bisa menampung sampah sampai 2025 jika tidak diolah secara baik. Saat ini, lanjut mantan Kepala Dinas Koperasi dan UMKM ini, sedang dilakukan penyempurnaan pengolahan sampah di TPA Jatibarang menggunakan control landfill.

Sampah yang datang, lalu ditutup membran kendur dibuat sumur gas penghasil gas metana yang disalurkan melalui pipa lalu digunakan untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik. Pengolahan ini menggunakan sistem energi terbarukan. Proses ini dilakukan beberapa tahun terakhir.
“Sebelumnya sampah yang datang kita proses dengan sanitary landfill, ditumpuk lalu ditutup membran, agar tidak longsor, dan gas metananya digunakan untuk memutar turbin agar bisa menjadi listrik,” bebernya.
Dalam sehari, TPA Jatibarang sempat menerima kiriman sampah hingga 1.100 ton sebelum pandemi Covid-19. Namun saat ini dalam sehari sekitar 800 -850 ton. “Adanya pemrosesan sampah di hulu ini mengurangi jumlah sampah yang masuk. Misalnya, pengolahan di masyarakat ataupun adanya bank sampah,” ujar dia.
Dua tahun terakhir, kata dia, kapasitas dari gas metan berkurang. Kemudahan digagaslah PSEL yang prosesnya saat ini terus berjalan. Cara kerjanya, sampah yang datang akan dibakar menggunakan i incinerator atau alat pembakaran.
“Nanti sampah sejenis organik dibawa ke TPA langsung masuk ke incinerator, dibakar, energi panas ini digunakan memutar generator dan jadikan listrik dengan standar buangan gas sesuai dengan lingkungan hidup dan kehutanan. Intinya kalau proses ini jalan tidak boleh ada pencemaran,” tambahnya.
Karena dilakukan pembakaran, lanjut Bambang, tumpukan sampah dipastikan akan berkurang. Ia berharap agar pada 2024 mendatang PSEL bisa beroperasi, kerena menjadi salah satu proyek strategis nasional (PSN). “Harapannya tahun 2024 bisa operasional, dan masalah sampah ini bisa sedikit terpecahkan,” harapnya. (den/aro)