
RADARSEMARANG.ID, SEMARANG – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Semarang tidak bisa melakukan pengawasan secara optimal dalam pilkada tahun depan, karena belum memiliki kekuatan hukum yang jelas dalam menjalankan tugasnya.
Koordinator Divisi Hukum, Data dan Informasi Bawaslu Kota Semarang, Arief Rahman menuturkan, saat ini pihaknya masih mengalami kebingungan terkait mekanisme pilkada mendatang. Masih banyak aturan yang saling tumpang tindih antara UU Pilkada Nomor 10 tahun 2016 dam UU Pemilu nomor 7 tahun 2017. Baik dalam segi nomenklatur definisi pengawas tingkat kabupaten/kota, keanggotaan tim pengawas maupun jangka waktu penanganan pelanggaran.

Untuk Pilkada tahun depan tentu menggunakan UU Pilkada. Namun dalam UU tersebut perlu dibentuk panitia pengawas tingkat kabupaten/kota sebanyak 3 orang. Sedangkan dalam kenyataannya saat ini telah terbentuk Bawaslu tingkat kabupaten/kota yang jumlah anggotanya 5 orang. Belum lagi terkait jangka waktu penindakan perkara. Dalam UU Pilkada maksimal hanya 5 hari sedangkan UU Pemilu 14 hari. “Tentu ini membingungkan kami dalam melakukan penindakan pada Pilwakot tahun depan,” ujarnya dalam rapat evaluasi Pemilu 2019 dan Persiapan Pilkada 2020 Selasa (27/8).
Sejumlah persoalan tersebut tentu berimbas pada tidak efektifnya kinerja pengawasan. Sebab Bawaslu Provinsi diharuskan untuk membentuk tim baru dari awal. Padahal pelaksanaan Pilkada sudah dekat dengan mulai dibukanya pendaftaran Panaitia Pengawas Kecamatan (PPK) pada bulan September mendatang. Selain itu juga menambah potensi gugatan terkait penindakan yang dilakukan Bawaslu dengan alasan belum adanya legal standing.

Sementara itu menghdapi hal tersebut, Ketua Bawaslu Kota Semarang, Muhammad Amin mendorong untuk segera diajukan Judicial Review terkait UU Pilkada dan UU Pemilu. Sehingga Bawaslu kabupaten/kota di seluruh Indonesia memiliki kekuatan hukum dalam menjalankan tugas pengawasan Pilkada ke depan. Harapannya agar pelaksanaan pesta demokrasi 5 tahun selaki tersebut dapat berjalan jujur dan adil.
“Tidak hanya Semarang saja namun seluruh Indonesia juga menghadapi persoalan yang sama. Maka dari itu mari kita sengkuyung bersama untuk mendorong adanya judicial review sebelum pelaksanaan pikada tahun depan. Sehingga tugas pengawasan dapat tetap dijalankan dan menjaga sistem demokrasi yang sudah terjalin baik,” lanjutnya.
Sementara itu meski belum ada kejelasan terkait legal standing, pihaknya tetap melakukan persiapan untuk pilkada mendatang dengan mengajukan anggaran sebesar Rp 12,2 milyar. Namun jumlah tersebut masih dapat berubah mengingat kebutuhan pilkada tahun depan yang jauh lebih banyak dari tahun 2015 lalu. Meskipun bertambah pihaknya tetap optimis dapat menjalankan pengawsan dengan sebaik-baiknya.
“Anggaran itu masih menunggu proses singkronisasi dari KPU. Sebab kebutuhan semakin bertambah. Tahun 2015 TPS yang diperlukan hanya 2.810. Sedangkan tahun depan mencapai 3.000 TPS. Maka dari itu kemungkinan masih dapat terus bertambah. Namun sejauh ini kami mengajukan pada kisran 12,2 Milyar,” pungkasnya. (akm/zal)