26 C
Semarang
Minggu, 4 Juni 2023

Kirab Budaya Ramaikan Haul Simbah Abdul Wahid Tingkir Lor

Artikel Lain

RADARSEMARANG.ID, Salatiga – Sebagai bentuk rasa cinta warga Tingkir Lor kepada ulamanya, dilaksanakan rangkaian prosesi Haul Simbah Abdul Wahid.

Kegiatan dimulai dari Masjid Sabilal Muttaqin, Kamis (16/3) malam. Pawai agamis yang diikuti santri dan warga tersebut digelar dengan membawa lurub/kiswah yang akan di pasang di Makam Simbah Abdul Wahid.

Sebelum prosesi pemasangan kiswah, dilakukan penulisan surah Al Fatihah pada kain lurub tersebut oleh KH. Abdul Nashir Asyari bersama enam kyai lainnya dengan diiringi sholawat di Masjid Al Fudhola.

Lurah Tingkir Lor Asroi menjelaskan, rangkaian kegiatan yang digelar dalam rangka Haul Simbah Abdul Wahid. kegiatan Haul Mbah Kyai Abdul Wahid sebagai bentuk cintanya warga Tingkir Lor kepada Mbah Wahid.

Diadakan kirab budaya untuk mengenang jasa-jasa beliau sebagai pasukan laskar dari Pangeran Diponegoro yang membantu untuk mengusir penjajahan Belanda. Sedangkan, Jumat (17/3) malam diselenggarakan akhirussanah atau pengajian akbar.

Saat berada di Masjid Al Fudhola, selain prosesi penulisan Al Fatihah, juga disajikan kesenian Tari Sufi yang diawali pembacaan Surat Al Haj ayat 26 dengan narasi “Sufi Ngenggono Jati”.

Setelah prosesi selesai, dilanjutkan kirab agamis menuju Makam Simbah Wahid. Teatrikal Wali Songo juga dipersembahkan untuk menyemarakkan kirab yang digelar. Sesampainya di makam, jamaah bersama-sama melantunkan dzikir dan tahlil untuk Mbah Wahid dan Masayikh.

Kemudian dilakukan pemasangan lurub/kiswah di makam Simbah Abdul Wahid dilanjutkan pembacaan doa oleh tujuh kyai. Seusai dari makam, seluruh peserta kirap menikmati nasi tumpeng yang telah disediakan dan makan bersama di Masjid Al Fudhola.

Panji Hanief Gumilang, Kasi Destinasi dan Promosi Wisata pada Dinas Pariwisata Salatiga menuturkan, Kiai Abdul Hamid adalah salah satu tokoh laskar pangeran Diponegoro. Ia juga eyang canggah dari presiden Abdurrahman Wahid.

“Kiai Abdul Wahid memang ditugasi untuk menjadi telik sandi dengan mengajari ngaji di lingkungan tersebut. Nama yang digunakan di masyarakat saat itu adalah Kiai Maksum,” jelas dia. (sas/bas)

Reporter:
Dhinar Sasongko

Baca artikel dan berita terbaru di Google News


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya