
RADARSEMARANG.ID – Sekolah Alam Pekalongan yang aktif dan berkembang sampai sekarang ternyata punya masa lalu memilukan. Awal didirikan, saung tempat belajar pernah diobrak-abrik warga. Sampai akhirnya sekolah inklusi ini diusir dan diminta pindah ke tempat lain.
Mempertahankan itu lebih sulit daripada mendirikan. Mungkin ungkapan itu layak diucapkan Ika Nela, sang pendiri (founder) Sekolah Alam Pekalongan. Betapa tidak, dialah yang selama ini pasang badan untuk mempertahankan sekolah inklusi di Kabupaten Pekalongan itu tetap ada dan beroperasi. Meski harus berhadapan dengan segudang permasalahan.

Niat baik dan tulus mendirikan sekolah inklusi yang menampung anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) ternyata tak serta-merta mendapat sambutan positif. Pada 2013, mula-mula Ika mengontrak sebidang tanah di Desa Sawangan, Kecamatan Doro, untuk merealisasikan niat baiknya itu. Dorongannya simpel. Hanya atas dasar cinta terhadap ABK.
“Dana mengontrak lahan dan mendirikan saung belajar itu datang dari langit. Tidak bisa saya sebutkan,” katanya kepada Jawa Pos Radar Semarang.

Sekolah berdiri, Ika menerima beberapa siswa ABK. Tapi belum lama berjalan, Ika dikejutkan dengan suatu masalah. Suatu hari ia mendapati saung sekolah rusak. Kabel-kabel komputer terpotong-potong, spanduk robek, gambar-gambar dinding untuk mengajar siswa rusak, dan lain sebagainya.
“Dan yang mengiris hati, di saung ada tulisan bernada sinis dan kotor. Ditulis dengan cat semprot,” ungkap ibu tiga anak ini.
Hati Ika hancur lebur melihat itu semua. Ia tak tahu apa yang membuat sekolahnya mendapat perlakuan seperti itu. Pelakunya pun ia tak tahu siapa. “Yang jelas, setelah kejadian itu, kami diusir warga dan diminta pindah ke tempat lain,” katanya.
Demi sekolah yang diimpikan tetap ada, Nela akhirnya memutuskan memakai teras rumahnya untuk belajar siswa sementara waktu di Desa Karangsari, Kecamatan Karanganyar. Sampai akhirnya Nela bisa menyewa tempat lain tak jauh dari sana. Sejak saat itu, Sekolah Alam Pekalongan mulai berkembang. Dibuktikan dengan bertambahnya volunteer pengajar dan jumlah siswa.
Suatu hari, tiba-tiba ada seseorang datang memberikan tanah wakaf untuk Sekolah Alam Pekalongan di Desa Banjarejo, Kecamatan Karanganyar. Luasnya 900 meter persegi. Tapi itu tak seutuhnya jadi kabar baik bagi Nela.
“Karena ternyata kami tidak diterima warga di sana. Akhirnya sampai detik ini lahan itu tidak bisa kami gunakan. Permasalahannya sama seperti ketika kami di Doro. Intinya itu masalah sensitif, saya tidak bisa ceritakan,” ucap Nela.
Nela sempat menyatakan menyerah dan berhenti selama beberapa waktu dari Sekolah Alam Pekalongan. Tentu saja karena permasalahan-permasalahan tadi. Tapi Nela akhirnya bangkit kembali dan melanjutkan cita-citanya mencetak siswa ABK yang berprestasi.
“Kalau saya menyerah, kasihan mereka. Akhirnya saya kembali berkecimpung,” ujarnya.
Ketabahan dan keuletan Nela membuahkan hasil. Dari menjual batik bikinan volunteer dan siswa, serta dukungan materi dari orang tua siswa, Nela bisa membayar sebuah tanah kavling. Meski dengan mencicil. Itu tahun 2015.
“Bukan berarti setelah itu tidak ada masalah. Ada dan permalasahan yang dibawa warga masih soal yang sama. Tapi bisa kami atasi,” ucapnya.
Akhirnya, Sekolah Alam Pekalongan tetap ada hingga sekarang. Bahkan digandeng oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penelitian Pengembangan (Bappeda Litbang) Kabupaten Pekalongan untuk menampung siswa-siswa putus sekolah di Kecamatan Karanganyar. Total ada 36 anak dengan kelas Kejar Paket A, B, dan C.
Pada peringatan Hari Ibu Desember lalu, Ika bahkan mendapat penghargaan dari Pemkab Pekalongan yang diserahkan langsung oleh Bupati Fadia Arafiq. Siswa-siswa ABK Sekolah Alam Pekalongan juga tampil membawakan seni musik dan tari di acara itu. “Insya’Allah saya akan terus bertahan untuk anak-anak,” tandasnya. (nra/aro)