
RADARSEMARANG.ID, MAGELANG – PT Pertamina (Persero) telah mengelontorkan kuota gas elpiji 3 kilogram di wilayah Kedu sebanyak 130 ribu tabung per hari. Namun di lapangan, masih kerap terjadi kelangkaan. Penyebab terbesar munculnya masalah ini adalah penggunaan gas bersubsidi yang tidak tepat sasaran.
“Rumah makan penyumbang utama penyebab kelangkaan ini,” tandas Sales Executive (SE) LPG Kedu di PT Pertamina (Persero) Dhimas Aji Kharisma Cakra dalam acara focus group discussion (FGD) bertema Mekanisme Distribusi Elpiji 3 Kilogram Tepat Sasaran di Grand Artos Hotel and Convention Center, Kamis (29/8).

Unit Manager Communication & CSR MOR IV PT Pertamina (Persero) Andar Titi Lestari menambahkan, pihaknya kerap mendapati rumah makan besar yang masih menggunakan gas elpiji warna hijau itu. Mestinya mereka pakai gas elpiji nonsubsidi.
Yang bisa dilakukan pihaknya adalah mengajak untuk beralih ke Bright Gas 5,5 kilogram atau 12 kilogram. “Selain itu, kita mengajak pemerintah daerah (pemda) untuk mendeklarasikan penggunaan gas elpiji nonsubsidi bagi para aparatur sipil negara (ASN),” jelasnya.

Namun faktanya, masih ada abdi negara yang tak patuh pada aturan. Masalah lain yang dihadapi Pertamina adalah penjualan gas elpiji bersubsidi di atas harga eceran tertinggi (HET). Andar menyebutkan, di Jawa Tengah telah ditetapkan HET sebesar Rp 15.500. Meski besaran HET telah ditetapkan gubernur, pihaknya mendorong kepada bupati dan wali kota untuk mengeluarkan surat edaran (SE) HET di wilayah yang telah disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Ekonom dari Universitas Muhammadiyah Magelang Nia Kurniati menyarankan beberapa formulasi yang bisa dipakai oleh pemerintah dan Pertamina dalam mengatasi masalah kelangkaan gas elpiji. Yakni penggunaan kartu kendali bagi konsumen gas elpiji bersubsidi dengan kode QR, kemudian fokus pada jalur distribusi atau rantai pemasoknya. “Di sini, pengecer dikendalikan atau di bawah tanggung jawab dari aparat desa,” ujarnya. (put/ton)