
RADARSEMARANG.ID, Semarang – Sanksi terhadap lima anggota Polda Jawa Tengah yang terlibat praktik suap dan percaloan pada Penerimaan Bintara Polri Tahun 2022 dinilai sangat ringan. Sanksi minta maaf dan demosi atau penurunan jabatan yang dijatuhkan Komisi Kode Etik Polri (KKEP) tak sebanding dengan perbuatan mereka yang jelas-jelas menerima uang suap hingga miliaran rupiah.
Seperti diberitakan sebelumnya, dua anggota Polda Jateng berpangkat Kompol berinisial AR dan KN, dan seorang berpangkat AKP berinisial CS terbukti melakukan perbuatan tercela. Ketiganya sudah dilakukan proses sidang KKEP. Hasilnya disanksi etika dan administrasi.

Oknum Polri tersebut terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Divisi Propam Mabes Polri lantaran terlibat praktik suap Penerimaan Bintara Polri tahun 2022. Selain itu, ada dua personel lainnya, yakni Bripka Z dan Brigadir EW. Keduanya juga telah menjalani sidang KKEP. Hasilnya sama, disanksi etika dan administrasi.
“Itu sanksinya terlalu ringan. Karena ada keputusan lain, yang soal percaloan, suapnya diberhentikan,” kata Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso kepada Jawa Pos Radar Semarang, Senin (14/3).

Karena itu, ia mendesak kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk melakukan peninjuan kembali putusan tersebut berdasarkan ketentuan Perkap Nomor 7 Tahun 2022 pasal 83 terkait Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Kami mendesak (oknum Polri tersebut) diperiksa kembali dengan putusan dipecat dan diproses pidana,” tegasnya.
Sugeng sudah menduga sejak awal, kelima oknum anggota Polda Jateng yang terlibat kasus suap tersebut bakal mendapat sanksi ringan. Pihaknya juga menganggap kepolisian terpaksa melakukan penanganan kasus tersebut lantaran terbongkar oleh IPW.
“Kalau hukuman ini, saya sudah menduga. Menduganya begini. Mereka itu sebetulnya tadinya mau diam-diam. Dugaan saya, mereka tidak ditindak. Tetapi IPW ternyata membongkar kasus tersebut. Jadi, mereka terpaksa harus memeriksa dan menyidangkan, karena sudah diakui,” katanya.
Lima anggota Polda Jateng yang terlibat kasus tersebut adalah Kompol AR, Kompol KN, AKP CS, Bripka Z dan Brigadir EW. Mereka terjaring OTT Divisi Propam Mabes Polri terkait kasus tesebut pada Agustus 2022. Namun hal tersebut tidak disampaikan ke publik.
“Ada suatu upaya mereka diamankan. Diamankan dalam arti supaya aman. Ternyata kan dibongkar oleh IPW,” sambungnya.
Menurutnya, kasus ini sangat mencederai institusi Polri, utamanya Polda Jateng. Alasannya, perbuatan KKN maupun penyuapan ini berdampak negatif karena dianggap tidak menghasilkan calon anggota Polri yang baik.
“Efeknya, kita tidak bisa mendapatkan calon polisi yang baik. Karena dari awal sudah dimintai uang,” katanya.
Sedangkan dampak internal, lanjut dia, dapat menimbulkan aktor-aktor lainnya untuk melakukan perbuatan sama. Sebab, sanksi yang dijatuhkan sangat ringan dan dimungkinkan tidak memberikan efek jera. Sehingga sangat rentan ditiru oleh oknum-oknum lainnya.
“Bisa jadi, ke depannya akan terjadi suap-menyuap, memeras, pungli. Itu akan menjadi kebiasaan tetap, termasuk percaloan. Jadi, dianggap biasa saja. Sangat memprihatinkan kalau institusi polisi membiarkan seperti ini. Karena tidak dipecat,” tegasnya.
Ia berharap, institusi Polri terus menggencarkan program Bersih Transparan Akuntabel dan Humanis (BETAH) dalam perekrutan calon anggota Polri. Sehingga bisa menghasilkan anggota Polri yang amanah dan tidak hanya mencari kekayaan.
“Terapkan saja prinsip itu (BETAH, Red). Kalau generasi muda kan pengin menjadi anggota Polri. Ya, tergantung rekrutmen, bukan pada personel yang akan datang. Tergantung pengujinya, seleksinya. Jadi, bukan tergantung pada minat orang yang mau masuk. Kalau yang mau masuk kan sekedar imbauan. Kalau mau jadi polisi ya harus siap mengabdi pada negara dan tidak mencari kekayaan,” katanya.
Terpisah, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai sikap Mabes Polri dalam melakukan penyelidikan kasus tersebut tidak fair. Alasannya, proses penyelidikan tersebut malah dilimpahkan ke Polda Jateng.
“Ini kan terjadinya di Propam Mabes. Kalau diserahkan ke Propam Polda Jawa Tengah, saya khawatir bisa dikotakkan, dikecilkan, dan tidak dikembangkan,” ujarnya.