31 C
Semarang
Minggu, 26 Maret 2023

Menjaga Nilai Pancasila di Tengah Gempuran Perkembangan Teknologi

Artikel Lain

RADARSEMARANG.ID, Semarang – Perkembangan teknologi khususnya gadget kian pesat, dan sulit untuk dibendung. Arus informasi kian mudah diakses melalui sebuah gadget. Tentu jika tidak memiliki ‘pondasi’ pemikiran yang kuat, informasi yang datang pasti tidak akan dipahami dengan baik. Hal tersebut memiliki korelasi dengan eksistensi ideologi negara, yakni Pancasila.

Menurut Dosen Filsafat Pancasila Universitas Negeri Semarang (Unnes) Noorohmat Isdariyanto, hasil teknologi memunculkan sebuah kebudayaan baru. Seperti halnya saat ini. Pencarian informasi sangat mudah, baik itu yang hoax maupun yang benar.

Dikatakan, jika dilihat dari sisi pragmatisnya, perkembangan teknologi akan mempengaruhi tradisi. “Misalnya dalam penggunaan teknologi, apakah tetap setia terhadap nilai karena akan mempengaruhi kadar pengetahuan dan sikap seseorang,” ujar Noorohmat, Senin (31/5/2021).

Menurutnya, istilah-istilah seperti Santri Google dan Ustadz Youtube muncul karena perkembangan teknologi. Bahkan lebih dahsyatnya, hanya karena gadget, persatuan Indonesia bisa terancam. Artinya, semua harus melihat lebih ke dalam tujuan penggunaan gadget.

Noorohmat mengatakan, derasnya arus informasi di gadget haruslah disikapi dengan bijak. Kroscek informasi yang didapatkan melalui akses dari gadget perlu dilakukan. Supaya tidak menjadi sumber perpecahan. “Di dalam Pancasila jelas sekali ditanamkan persatuan, dan dalam kondisi sekarang jika pondasi pemikiran tidak kuat itu bisa digoyang hanya dari gadget,” terangnya.

Baca juga:  Baru Diluncurkan, ETLE di Jateng Sudah Catat 3.200 Pelanggaran

Pemaknaan dari informasi yang mudah didapat hanya melalui gadget harus dilakukan lebih mendalam. Tidak serta-merta ditelan mentah-mentah. Banyak infomasi yang sifatnya provokasi kegaduhan. Banyak pula yang mengajak ke arah kebaikan. Disampaikan menggunakan bahasa dari penyebar informasi tersebut. “Melalui gadget, semua bisa membuka medsos, semua bisa menerima informasi, itu ada plus dan minusnya,” katanya.

Dosen Pendidikan Pancasila UPGRIS Semarang Dr Agus Sutono MPhil mengatakan, mindset yang harus dibangun saat ini adalah memahami teknologi informasi sebagai kebutuhan. Harus secara bijak mampu memanfaatkannya sebagai kekuatan perubahan.  “Jadi, milenial harus bisa memanfaatkan teknologi, dan tentu jangan lupa mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila di dunia nyata,” ujarnya.

Ia menambahkan, gadget sebagai salah satu bagian dari teknologi informasi harus digunakan sebagai kekuatan perubahan. Perubahan untuk membangun networking, membangun religiusitas,  semangat persatuan dan kegotong-royongan, dan juga semangat keadilan.  “Dan itu tetap harus dijunjung tinggi oleh para milenial tanpa melupakan falsafah bangsa,” tegasnya.

Dekan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Keolahragaan UPGRIS ini menambahkan, gadget sebagai bagian tak terpisahkan dari generasi milenial dapat digunakan untuk ikut berkontribusi dalam pembangunan dengan membangun jejaring nasional dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan. Juga bisa  membuat serta mengembangkan konten-konten positif untuk melawan informasi hoax di media sosial.  “Ini adalah bagian dalam mewujudkan semangat gotong royong sebagai bagian nilai Pancasila,” katanya.

Baca juga:  Banjir, Ojek Tol Kaligawe - Pelabuhan Rp 75 Ribu

Dikatakan, gadget adalah tools. Sedangkan manusianya adalah subjek pemakai tools tersebut. Sehingga subjek yang harus memanfaatkan tools tersebut, salah satunya dalam pengimplementasian nilai-nilai Pancasila sebagaimana tersebut di atas. “Milenial tetap akrab dengan gadget sebagai sarana komunikasi, hiburan, tetapi juga sebagai media membangun bangsa,” tandasnya.

Guru Pendidikan Kewarganegaraan SMA Negeri 13 Semarang R Agung Budi Laksono mengakui, pentingnya para peserta didik mampu dengan bijak menggunakan internet. Setidaknya memahami Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Menurutnya, dengan memahami UU tersebut, para peserta didik dapat menjaga diri dari perilaku amoral yang tidak sesuai nilai Pancasila. Seperti pencemaran nama baik, penghinaan, dan ujaran kebencian.  “Sebagai bagian dari rakyat Indonesia kita memang memiliki kebebasan berpendapat. Namun tetap harus memegang etika agar tidak terjerat kasus hukum pidana di UU ITE,” terangnya kepada Jawa Pos Radar Semarang.

Agung mengatakan, tiga pihak yang memiliki peran menjaga nilai Pancasila dan perilaku dalam menggunakan internet yaitu, keluarga, masyarakat, dan pihak sekolah. Keluarga harus memantau dan mengontrol anak dalam bermedsos agar tidak terjerumus ke dalam kegiatan negatif. Masyarakat tempat anak hidup dan bersosial juga idealnya dapat membangun narasi positif agar warga yang tinggal di dalamnya tetap terjaga kerukunannya. Tentu saja, tidak mengabaikan nilai Pancasila. Begitu pun sekolah tempat anak menuntut ilmu, harus bisa menanamkan nilai tersebut dalam praktik pembelajaran.

Baca juga:  38 Sekolah di Semarang Terendam Banjir, Wilayah Genuk Paling Parah

“Yang sering kita temui pengguna internet yang asal membagikan link artikel atau berita tanpa mengonfirmasi kebenarannya, dan baik buruknya. Sehingga opini masyarakat mudah tergiring,” katanya.

Karena itu, ia tak hanya memahamkan UU ITE kepada peserta didiknya di sekolah, tapi juga mensosialisasikan dengan remaja RT/RW di wilayahnya. Ia terus-menerus mengingatkan etika dalam bermedsos. Dengan begitu tak ada yang terjerat hukum karena melanggar pasal UU ITE. Selain menjalankan kewajiban sebagai warga negara dalam mempraktikkan nilai Pancasila pada keseharian, pengguna internet juga harus mendapatkan haknya. Seperti perlindungan data pribadi agar tidak dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. “Itulah sebabnya, di era disrupsi digital pengguna internet harus mengerti literasi digital dan hukum untuk bijak menggunaan internet,” tandasnya. (ewb/fth/cr1/aro)


Baca artikel dan berita terbaru di Google News


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya