
RADARSEMARANG.ID, Semarang – Dua pelaku arisan online abal-abal diamankan anggota Subdit Cyber Ditreskrimsus Polda Jateng. Para korban praktik arisan online ini menelan kerugian mencapai Rp 4 miliar.
Dua pelaku yang diamankan adalah perempuan berinisial TVL dan IN. Pelaku TVL diduga melakukan penggelapan arisan online di Demak. Sedangkan IN di Kabupaten Semarang.

Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Jateng Kombespol Johanson Ronald Simamora mengatakan, anggota Subdit V Cyber Ditreskrimsus telah mengungkap adanya praktik arisan online yang diduga melanggar undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) maupun pasal penggelapan. Jumlah korban arisan online ini mencapai 183 orang.
“Korbannya dari berbagai kalangan. Ada ibu rumah tangga hingga pegawai swasta. Kerugian korban mulai Rp 1 juta, Rp 40 juta, hingga yang tertinggi Rp 1 miliar asal Medan,” ungkapnya kepada Jawa Pos Radar Semarang, Selasa (18/1).

Dua pelaku yang diamankan berinisial TVL dan IN melakukan praktik arisan online di wilayah berbeda, yakni Demak dan Semarang. “Modusnya sama, tapi TKP-nya berbeda. Modusnya menjanjikan arisan online kepada korban. Tapi, pada saat jatuh tempo, korban tidak mendapatkan apa-apa,” bebernya.
Pengungkapan kasus ini berdasarkan laporan para korban di Ditreskrimsus Polda Jateng, Selasa (11/1) lalu. Terlapor TVL menggelar arisan online di wilayah Demak, dengan jumlah korban mencapai 169 orang. “TVL sebagai owner, sedangkan kerugian korban kurang lebih Rp 3 miliar,” katanya.
Pelaku IN dilaporkan pada 4 November 2021 silam. Ia menggelar arisan online di wilayah Kabupaten Semarang. Korbannya belasan orang. IN menggelar arisan online sejak satu tahun terakhir, dan sama dengan yang dilakukan pelaku TVL.
“Modusnya sama melalui WhatsApp, menjanjikan arisan online yang aman. Korban ada 14 orang. Pada saat jatuh tempo juga tidak dibayarkan. Potensi kerugiannya kurang lebih Rp 1 miliar,” jelasnya.
Berbekal laporan tersebut, anggotanya melakukan serangkaian penyelidikan. Pelaku TVL diamankan di stasiun kereta api di Kota Semarang.
“Pelaku kami ikuti dengan melakukan profilling. Dia sempat ke Bali, lalu terbang ke Surabaya, dan kembali ke Semarang. Akhirnya, berhasil kami amankan di Stasiun Tawang,” bebernya.
Selain menggunakan medsos dan online, para pelaku dalam menjaring korbannya juga lewat bujuk rayu. Termasuk memberikan iming-iming member dan jaminan untuk meyakinkan para korban. “Ternyata member yang dijanjikan fiktif. Pelaku IN lewat WhatsApp, modusnya sama, ternyata fiktif juga,” jelasnya.
Johanson menegaskan, kasus arisan online abal-abal ini tidak ada kaitannya dengan kasus di Salatiga dan Solo Raya.
“Mirip tapi berbeda. Nanti kami juga akan menggandeng TPPU (tindak pidana pencucian uang), karena kami sudah mengamankan barang bukti rekening, Kami juga akan bekerja sama dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk menelusuri aliran dananya ke mana saja. Apabila nanti terbukti, kami akan melakukan penyitaan,” tegasnya.
Saat ini, dua perempuan tersebut masih mendekam di sel tahanan Mapolda Jateng. Johanson menyebut, kedua pelaku akan dijerat pasal 45 ayat a Undang-Undang ITE Nomor 16 Tahun 2019. Ancaman hukumannya maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Pelaku TVL mengakui sudah menjalankan aksinya dua tahun. Terkait keuntungan, perempuan ini berdalih selalu rugi dengan alasan banyak member yang kabur.
“Semua member sudah dapat (arisan) semua. Tapi ada yang kabur. Dapat lalu kabur, dapat lalu kabur, dan tidak bayar. Bandar harus nalangin. Tapi member pada tidak mau tahu,” kilahnya.
Sedangkan pelaku IN mengaku baru dua bulan mengadakan arisan online. Keuntungan yang didapat sekitar Rp 50 juta. “Uangnya dibawa kabur. Member saya 14 orang, nilainya sekitar Rp 1 miliar. Ada yang ikut Rp 80 juta, ada yang Rp 60 juta,” katanya.
60 Reseller Lain Harusnya Jadi Tersangka
Kuasa hukum IN, John Richard Latuihamallo, mengatakan, pihaknya tidak terima kliennya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus arisan online ini. Pihaknya juga menyebut justru IN merupakan korban dalam perkara ini.
“Kami mengklarifikasi, ada klien kami berinisial IN yang sebenarnya juga korban dari praktik arisan online yang dilakukan oleh tersangka Resa,” ungkapnya kepada Jawa Pos Radar Semarang, Selasa (18/1).
John menyebutkan nama Resa yang dimaksud adalah Resa Agatha Putri Nugraheni, 24. Saat ini, Resa telah ditahan kepolisian dalam kasus arisan online yang terjadi di wilayah Salatiga.
“Kenapa? Karena akibat perbuatan Resa ini, klien kami ditetapkan tersangka oleh Ditreskrimsus Polda Jateng. Sebagai apa? Dianggap melakukan tindakan penggelapan dan melanggar UU ITE,” katanya.
Padahal, kata John, kliennya tidak punya niatan melakukan itu. Awalnya, IN sama dengan masyarakat umum lainnya yang ikut arisan online sekitar dua bulan. Menurut informasi yang diperoleh, kasus yang menjerat kliennya sama halnya multimarketing reseller.
“Awalnya, dia ikut menjadi peserta arisan online. Lalu dia jadi reseller dengan 16 anggota di bawah Resa. Informasi yang kami dapat, ada 61 reseller yang mengikuti Resa. Lantas, kenapa klien kami saja yang ditetapkan tersangka? Padahal semua uang yang di rekening klien kami telah disetorkan ke Resa,” jelasnya.
Dalam kasus ini, John menyampaikan bahwa kliennya dilaporkan oleh anggota arisan online berinisial B, serta enam orang lainnya. John menegaskan, kliennya sudah punya itikad baik dan bertanggungjawab mengembalikan sebagain uang dari pelapor tersebut.
“Kami minta kepada kepolisian, masih ada reseller lain selain kliennya yang juga berakibat fatal. Biar adil, itu juga harus diusut sebagai tersangka. Sehingga menjadi terang persoalan ini,” tegasnya.
Menurut John, ini bukan masalah ada yang melapor dan tidak melapor. Ia menilai perbuatan tersangka Resa sudah merugikan masyarakat banyak. “Kita mendorong Ditreskrimsus juga melakukan penyelidikan terhadap para reseller yang lain,” pintanya.
Ia juga menegaskan, kliennya tidak mungkin melakukan pelanggaran UU ITE. Alasannya, namanya juga arisan online, semua bersifat online. Selain itu, pihaknya juga memiliki bukti-bukti yang dianggap kuat terkait kasus kliennya
“Di mana data-data lengkap ada di situ. Kami tidak melakukan perlawanan apapun, kami mengikuti proses hukum. Tetapi perlu digarisbawahi, di dalam handphone itu adalah teman-teman sendiri di dalam Group WA yang terlibat mengikuti arisan online. Pelapor juga sebagai reseller,” katanya.
John kembali menegaskan, yang bertanggungjawab dalam arisan online kliennya adalah Resa. Namun pihaknya juga menunggu pertanggungjawaban, termasuk pemeriksaan dan persidangan Resa.
“Ini saya juga melaporkan Resa ke Polda Jateng melakukan tindakan penipuan dan penggelapan uang klien kami. Awalnya, hubungan Resa dan klien kami berjalan lancar. Tapi, pada tahapan ketujuh, Resa melarikan diri. Dia menghilang. Tetapi pertanggungjawaban uang yang disetorkan ke Resa itu juga hilang,” jelasnya.
Menanggapi alasan penyidik menetapkan kliennya sebagai tersangka, John mengatakan dianggap turut membantu atau dikenakan pasal 55 KUHP. “Seharusnya penyidik mencari pembanding yang lain, karena di sini ada 61 reseller. Semua rata-rata macet. Klien saya ini reseller, bukan owner arisan online. Harusnya yang bertanggungjawab ya Resa,” tegasnya.
Sebagai kuasa hukum IN, John berusaha mengajukan pembelaan terhadap kliennya dengan melaporkan Resa ke Polda Jateng dengan nomor LP/B/580/XI/2021/SPKT/POLDA JAWA TENGAH pada 26 November 2021 lalu. “Kita juga ajukan gugatan perdata kepada Resa, karena klien kami juga menjadi korban,” tegasnya. (mha/den/aro)