
RADARSEMARANG.ID, Budaya dari suatu negara merupakan salah satu nilai yang mampu membuat seseorang tertarik untuk mempelajari bahasanya. Karena bahasa sangat dipengaruhi oleh budaya yang berlaku pada saat itu.
Sehingga pada umumnya budaya tercermin pada bahasa yang digunakan oleh pemakainya. Oleh karena itu, bahasa tidak hanya menentukan kebudayaan tetapi juga pola pikir masyarakat setempat. Hal ini berlaku pula pada pembelajar bahasa Jepang.

Apabila belajar bahasa Jepang secara tidak langsung kita belajar budaya Jepang juga. Sejatinya, pembelajaran bahasa tidak terlepas dari pemahaman konteks budaya dan sosial (Chaer, 2009).
Budaya yang berlaku juga memiliki peranan yang penting bagi perilaku seseorang. Bagi pengajar bahasa asing merupakan tuntutan utama ketika menyampaikan materi kepada pembelajar. Agar budaya yang tersampaikan dapat diterima oleh pembelajar dengan baik tanpa mengabaikan budaya kita sendiri.

Pembelajaran budaya Jepang dipandang sebagai bentuk pembelajaran peningkatan kualitas PBM yang paling tepat karena kegiatan ini juga dapat memberi motivasi bagi pembelajar untuk belajar bahasa Jepang. Pengenalan budaya Jepang sebagai salah satu kegiatan penunjang kompetensi pedagogik masih merupakan sesuatu yang baru bagi siswa.
Budaya Jepang yang sudah dikenal di Indonesia antara lain memakai pakaian Jepang (yukata), seni melipat kertas (origami), seni menulis huruf Jepang (shodo), dan memasak masakan Jepang. Pada kesempatan kali ini yang akan penulis bahas adalah shodo. Shodo adalah seni kaligrafi menulis huruf Jepang dengan gaya tertentu. Seperti tebal dan tipisnya garis pada huruf.
Shodo sudah ada sejak beribu-beribu tahun yang lalu. Awalnya, shodo hanya mengutamakan keindahan tulisan saja. Namun sekarang, berkembang mengarah ke sebuah seni. Shodo diperkenalkan di Jepang pada abad ke-17 bersamaan dengan penyebaran agama Budha dari India menuju Korea, China dan Jepang (http://audilla-lala.blogspot.com/2011/10/kebudayaan-jepang-shodo.html).
Pada waktu kitab-kitab suci agama Budha sudah ditulis dengan huruf kaligrafi China saat dimana agama tersebut diperkenalkan di Jepang. Shodo yang dalam bahasa Jepang memiliki arti (The Way Of Brush) atau (cara menulis) bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berasal dari huruf kanji kaku (書く) dan kanji michi (道), merupakan salah satu bentuk seni yang telah dipelajari selama lebih dari 3000 tahun yang lalu. (http://audilla-lala.blogspot.com/2011/10/kebudayaan-jepang-shodo.html).
Alat-alat yang digunakan untuk melakukan shodo antara lain : shitajiki, bunchin, hanshi, suzuri, sumi, dan fude. Shitajiki adalah alas untuk kertas yang digunakan untuk melakukan shodo. Biasanya shitajiki ini berbahan yang lembut dan berwarna hitam. Bunchin adalah penjepit kertas yang digunakan agar kertas yang sedang dilakukan untuk shodo tidak bergeser.
Hanshi adalah kertas tipis khusus yang digunakan untuk menulis kaligrafi shodo. Suzuri adalah tempat tinta yang berbahan keras yang biasanya berbahan dasar batu atau bahan metal. Sumi adalah tinta yang digunakan untuk melakukan shodo.
Sumi memiliki 2 macam bentuk tinta, yaitu yang berbentuk tinta cair dan berbentuk tinta batang. Untuk sumi yang berbentuk batang, untuk mendapatkan tintanya, batang tinta tersebut digosokkan kelapisan paling atas tempat untuk menuangkan tintanya dengan dicampur air agar cepat mendapatkan tintanya. Fude adalah kuas yang digunakan untuk menulis kaligrafi shodo. Fude memiliki bermacam macam ukuran sesuai kebutuhan. Orang yang mahir dalam menulis shodo disebut shodoka.
Pembelajaran shodo di SMA Negeri 3 Cilacap dilakukan pada saat pembelajaran pengenalan budaya baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Pada dasarnya siswa menjadi semakin tertarik belajar bahasa bahasa Jepang. Sehingga efektif dalam meningkatkan kemampuan dan minat dalam mempelajari bahasa Jepang.
Pada saat pandemi, untuk materi shodo karena tidak bisa praktik langsung, jadi pembelajaran dilaksanakan melalui online dan siswa menyiapkan peralatan secara sederhana yang bisa dibeli di toko alat tulis. Yakni kertas, kuas dan tinta bak cina. Pembelajaran budaya juga bisa menjadi alternatif menghindari kejenuhan siswa belajar. (pm2/lis)
Guru SMAN 3 Cilacap, Kabupaten Cilacap