
Oleh: Rahayu Nur Iswati, S.Ag.
RADARSEMARANG.ID, Ketika masih kecil, kita suka bermain peran bersama teman. Ada yang jadi dokter, jadi pasien, jadi ibu atau ayah, ada yang jadi petani, ada yang jadi tentara, polisi dan berbagai macam profesi yang kita sukai. Ternyata apa yang kita mainkan ketika kita masih kecil jika digunakan dalam pembelajan sangatlah menyenangkan, mengasyikkan sekaligus bermanfaat. Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) khususnya materi tarikh/sejarah tentang kisah teladan Nabi dan Rasul, biasanya guru menggunakan metode yang kurang variatif, dan memposisikan dirinya sebagai sosok yang serba tahu. Sehingga siswa kurang dilibatkan dalam pemanfaatan potensi yang mereka miliki.

Ketidakmampuan guru dalam menyajikan pembelajaran yang menarik di kelas, membuat siswa merasa jenuh, lelah, ngantuk, gagal faham, kurang konsentrasi dan tidak fokus lagi terhadap materi yang disampaikan guru. Sehingga motivasi belajar mereka menjadi berkurang dan prestasi belajarnya pun menjadi rendah. Melihat hal ini penulis berinisiatif untuk mencoba metode yang lebih banyak melibatkan siswa dalam proses pembelajaran, yaitu metode bermain peran.
Bermain peran adalah salah satu bentuk permainan pendidikan yang digunakan untuk menjelaskan perasaan, sikap, tingkah laku dan nilai dengan tujuan untuk menghayati perasaan, sudut pandang dan cara berpikir orang lain (Depdikbud,1964:171).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badudu-Zain :84) bermain peran adalah mengambil bagian dalam melakukan sesuatu kegiatan yang menyenangkan, baik dengan menggunakan alat atau tanpa alat. Proses belajar dengan menggunakan metode bermain peran diharapkan siswa mampu menghayati tokoh yang dikehendaki. Keberhasilan siswa dalam menghayati peran itu akan menentukan apakah proses pemahaman, penghargaan dan identifiksi diri terhadap nilai berkembang. (Hasan,1996:266).
Dalam metode ini, guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok beranggotakan beberapa anak sesuai dengan tokoh yang akan diperankan dalam kisah keteladanan nabi tersebut. Salah satu siswa dari masing-masing kelompok ada yang menjadi sutradara yang membacakan kisah /cerita dan mengatur adegan yang diperankan teman kelompoknya. Siswa mengawalinya dengan memperkenalkan nama dan tokoh yang akan diperankan dalam cerita tersebut kepada teman-temannya. Sebelum cerita dimulai, guru menjelaskan hal-hal yang akan dinilai dalam penampilan mereka nanti.
Ternyata dengan metode bermain peran/role playing ini, siswa lebih semangat dalam belajar dan memberikan motivasi kepada mereka untuk berangkat sekolah, karena ingin melihat permainan teman-temannya. Selain anak lebih percaya diri, lebih memahami materi pembelajaran, menumbuhkan dan memupuk bakat, minat, kemampuan yang dimiliki, mengembangkan kemampuan komunikasi siswa, juga melatih siswa untuk berperan aktif dalam kehidupan nyata, serta yang pasti hasil belajarnya semakin baik.
Jadi, penerapan metode role playing ini memiliki banyak keuntungan dibanding metode ceramah yang biasa diterapkan oleh sebagian besar guru. Namun metode ini membutuhkan lebih banyak waktu pembelajaran dan latihan. Selama ini, aktivitas pembelajaran yang ada di sekolah cenderung mengabaikan potensi yang dimiliki oleh siswa dan kurang inovatif. Guru harus selalu mencari alternatif metode ataupun model pembelajaran yang dapat mengeksplorasi kemampuan peserta didik, dan terus meng-update kemampuan dalam menguasai teknologi, informasi dan komunikasi agar hasil belajar yang diperoleh maksimal sesuai yang diharapkan. (by1/aro)
Guru Pendidikan Agama Islam SD Negeri Pudakpayung 01 Semarang