
RADARSEMARANG.ID, Satu dari sembilan anak perempuan Indonesia menikah sebelum 18 tahun (Survei Sosial Ekonomi Nasional 2016). Angka ini menyita keprihatinan karena terbilang cukup tinggi. Bahkan laporan UNICEF menyebutkan Indonesia menjadi negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia pada 2013.
Langkah tegas DPR mengesahkan revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada 16 September 2019 memberikan angin segar. Penetapan perubahan mengenai batas minimal usia pernikahan bagi perempuan yang semula 16 tahun menjadi 19 tahun, sama dengan batas usia laki-laki diharapkan mengurangi celah terjadinya perkawinan anak.

Perjuangan mengubah batas minimal usia perkawinan ini bukanlah tanpa sebab. Persentase perkawinan anak di Indonesia (BPS) meningkat menjadi 15,66 persen pada 2018, dibanding tahun sebelumnya 14,18 persen. Sebanyak 59,5 persen perkawinan anak terjadi di keluarga miskin, dan 3 kali lebih tinggi di daerah pedesaan. Provinsi yang memiliki angka perkawinan anak tertinggi berada di Kalimantan Selatan (22,77 persen), Jawa Barat (20,93 persen) dan Jawa Timur (20,73 persen).
Kasus perkawinan usia anak sebagian besar akibat pergaulan bebas terlihat dari meningkatnya permintaan dispensasi nikah di pengadilan agama. Rata-rata dispensasi diberikan pada usia calon mempelai sekitar 14 hingga 15 tahun dan karena calon perempuan telah hamil. Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung menyebutkan terdapat 13.251 putusan dispensasi perkawinan anak yang dikeluarkan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia pada 2018.

Memang perkawinan adalah hak setiap orang, namun semakin dini usia anak melakukan perkawinan, maka semakin tinggi dampak yang ditimbulkan.
Dari segi kesehatan, anak perempuan yang menikah muda akan mudah terinfeksi pada alat reproduksinya. Bahkan meningkatkan risiko kematian saat melahirkan. Tak hanya itu, bayi yang dilahirkan rentan lahir prematur dengan berat badan lahir rendah dan kurang gizi sehingga berisiko kematian lebih tinggi. Anak yang telah menjadi ibu seharusnya masih dalam proses pertumbuhan dan membutuhkan gizi yang tinggi. Saat dirinya hamil maka tubuhnya akan bersaing dengan janinnya dalam hal kebutuhan gizi.
Selain itu kejiwaan anak belum matang, masih proses pendewasaan dan membutuhkan bimbingan sehingga mereka belum siap jika harus dibebani mengurus anak. Setelah menikah, mereka akan memiliki masalah hidup yang makin kompleks. Jika pasangan belum siap menghadapi, rentan akan depresi dan gangguan mental.
Banyak permasalahan memicu kekerasan dalam rumah tangga dan meningkatkan angka perceraian. Hal ini akan berdampak buruk pada perkembangan anaknya kelak karena pola asuh orang tua yang salah dan berlanjut pada generasi yang akan datang.
Tak bisa dipungkiri, saat ini anak lebih dekat dengan gadget. Melalui perkembangan teknologi tentu memberikan dampak positif dalam kemudahan akses informasi, namun jika informasi yang di akses bersifat negatif tentunya berdampak kurang baik. Perlu peran serta orang tua memberikan pembatasan dan pengawasan saat anak-anaknya menggunakan teknologi, agar tidak mengakses konten yang seharusnya tidak boleh diakses oleh anak.
Untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDG’s) 2030, khususnya terkait pembangunan anak, maka perlu perhatian besar kepada anak terhadap pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani untuk tumbuh dan berkembang. Agar kelak mereka nantinya mampu membangun keluarga dengan fondasi yang kokoh.
Indonesia termasuk negara darurat perkawinan anak, jika hal ini terus dibiarkan akan mengancam masa depan anak Indonesia. Inilah tanggung jawab kita semua untuk mencegah dan membuat angka perkawinan anak menurun. Perlu adanya kepedulian seluruh bangsa untuk memastikan bahwa anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Dukungan keluarga menjadi lingkungan pendidikan yang pertama dan utama sehingga menghasilkan generasi penerus yang sehat, cerdas, berakhlak mulia dan membanggakan tanah air. (mlm2/lis)
Statistisi Pertama BPS Kabupaten Semarang