
RADARSEMARANG.ID – Berkali-kali ditipu oleh oknum penegak hukum saat masih menjadi pengusaha elektro, membuat Mirzam bertekad menempuh studi demi menjadi advokat.
Dengan belajar hukum, tidak akan ada lagi yang dapat membodohinya soal hukum. Dorongan utama murni datang dari diri sendiri, karena telanjur lelah dibodohi oleh oknum yang justru tahu hukum.

“Selama perjalanan hidup, saya belum pernah disakiti oleh lawyer. Jadi, setelah menyelesaikan S1 dan S2 di Untag, saya mantap jadi advokat,” ucap pria yang intim disapa Mirzam ini.
Mengawali karier dan melewati masa magang, ia membawa sendiri perkara dari klien untuk ditangani. Dalam praktik penyelesaian masalah dan analisa hukum, Mirzam dibantu oleh seniornya di firma hukum. Dengan cara itu, ia lebih mandiri dalam mengelola kasus-kasus yang ditangani sejak menjadi pemula.

Lama bergelut di dunia hukum, Mirzam semakin tertantang untuk menangani kasus besar. Yaitu, “kasus” yang di dalamnya menyelundupkan hukum untuk kepentingan tertentu dan melibatkan “orang-orang besar”. Seperti pejabat, konglomerat, maupun pemodal.
“Dalam mengatasi masalah orang-orang besar dan berkuasa ini, saya tertantang; apakah hukum benar-benar dapat bekerja dan berlaku untuk mereka. Seperti tempo hari, saya tangani kasus calon Wakil Bupati Purwokerto,” jelasnya.
Menyelesaikan kasus-kasus besar—khususnya pejabat publik— secara tak langsung memperjuangkan kepentingan masyarakat bersama. Selain mengasah nurani, perkara semacam ini juga terus mengasah nalar kritis pengacara. Analisa hukum harus dilakukan detail, akurat, dan kuat.
Ia mengaku enggan menangani kasus-kasus yang landasan hukumnya lemah dan bertentangan nurani. Karena advokat tidak boleh menolak klien, maka bisa beralasan tidak sesuai hati nurani. “Menurut saya, ada dua. Yaitu, kasus narkoba dan korupsi yang mereka benar-benar pelakunya. Bukan hanya korban (rekayasa) atau kambing hitam.”
Berat bagi Mirzam jika harus menjadi pengacara untuk tersangka kasus pelanggaran UU Perlindungan Anak. Itu sangat bertentangan dengan nuraninya. Sebab, lazimnya orang dewasa adalah melindungi anak. Bukannya berbuiat jahat pada anak. “Anak-anak kan nggak mungkin bisa melawan orang dewasa.”
Baginya, advokat bukan semata profesi untuk mencari nafkah. Tetapi, menjalankan sebuah misi untuk mencapai tujuan penegakan keadilan. Itulah yang ditakuti penguasa dzalim. Sebab, pengacara tidak memiliki atasan dan tidak terikat dengan status gaji.
Bekerja sebagai advokat juga tidak terpasung dengan ikatan struktural. Ia dapat melanglang buana ke seluruh medan pertarungan. Mulai urusan perdata yang belum menjadi sengketa, lalu penyidikan yang menjadi wewenang polisi. Hingga, beralih ke penuntutan menghadapi jaksa, melakukan banding atas putusan hakim, bahkan sampai mendampingi klien menjalani putusan di Lapas.
“Ruang kerja pengacara dari A sampai Z. Dan, kinerja ini tidak dimiliki profesi lain, selain dari pengacara,” tegasnya. Karena itu, kehormatan, keberanian, komitmen, integritas, dan profesionalisme adalah ramuan dasar bagi seorang advokat.
Di tangan para advokat pula, diharapkan dapat menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan konstitusi suatu negara. Ia melihat, HAM kerap sulit ditegakkan di tangan penyidik (Polri) dan Kejaksaan selaku penegak hukum.
“Banyak mafia hukum di negara ini. Karena hukum sendiri buatan manusia. Legislatif yang membuat, pasti selalu punya kepentingan dalam membentuk hukum itu sendiri. Agar tidak merugikan pihaknya dan para pemodal,” kritiknya.
Dalam proses peradilan, masalah HAM dan KUHAP banyak dilanggar dan diabaikan mereka, demi kelancaran dan tercapainya target penyidikan. Sehingga nasib HAM di setiap negara di dunia ini, hanya dapat diperjuangkan dan ditegakkan melalui penegak hukum bernama advokat. Para advokat harus mempertahankan gelar officium nobile atau profesi terhormat yang mereka sandang, terlepas dari mana organisasi advokat mereka berada. (taf/isk)