29 C
Semarang
Kamis, 1 Juni 2023

Pembela Gratisan untuk Kaum Marginal dan Korban HAM

Artikel Lain

RADARSEMARANG.ID – Masyarakat miskin dan marginal seringkali tidak memiliki akses mendapatkan pendampingan hukum saat berperkara.

Mereka tak mengetahui bahwa memiliki hak mendapatkan pendampingan hukum gratis. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang siap menyediakan pengacara gratis pada kasus-kasus yang sesuai visi dan misi didirikannya LBH Semarang.

Eti Oktaviani masih terus teringat kedatangan seorang tunawisma ke kantor LBH Semarang. Tunawisma itu dengan agak takut-takut “curhat” bahwa ia ingin minta bantuan melaporkan orang yang merusak tanaman miliknya. Sebagai bekal, ia membawa sertifikat tanah yang dipinjam dari saudaranya. Kepada Eti, Direktur LBH Semarang, ia menyerahkan sertifikat tanah itu sebagai jaminan bahwa ia akan mencicil semua biaya yang dibutuhkan dalam berperkara.

Ketika diberitahu bahwa pendampingan dari LBH Semarang gratis, pelapor tersebut malah bingung. Ia belum percaya bahwa LBH Semarang bisa memberikan pendampingan hukum gratis untuk masyarakat miskin, kaum marginal maupun masalah hak asasi manusia (HAM). “Saat ini, tertanam di masyarakat kalau apa-apa itu harus bayar. Masak ada lawyer gratis,” kata Eti.

LBH Semarang berdiri pada 20 Mei 1978 dengan nama LBH Peradin. Pada 1985 memutuskan berafiliasi dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan selanjutnya bernama LBH Semarang. Lembaga ini mengkonsentrasikan bantuan hukumnya pada penanganan kasus-kasus struktural yang berbasiskan pada beberapa isu, seperti pertanahan, lingkungan hidup, perburuhan, kebijakan kota atau masyarakat miskin kota dan masyarakat pesisir/nelayan. Baik lewat langkah litigasi (penanganan kasus) maupun nonlitigasi (pendidikan dan pengorganisasian).

Memang tidak semua kasus yang dikonsultasikan bisa didampingi pengacara LBH Semarang. Harus dipilah-pilah sesuai dengan visi LBH Semarang. Yakni, terbukanya akses keadilan bagi masyarakat sehingga tercipta ruang hidup yang inklusif dan berkeadilan. Organisasi bantuan hukum ini tidak mau menerima masalah hukum di ranah privat atau perdata. Mereka lebih konsen pada masalah ketidakadilan struktural bagi kaum marginal, minoritas, serta masalah HAM.

Membela kaum marginal membuat LBH Semarang sering berhadapan dengan pemerintah maupun pemodal. Intimidasi tak jarang mereka terima. Mulai dari individu masyarakat, kelompok intoleran sampai aparat negara.

Eti mengalami sendiri intimidasi dari aparat negara. Saat mendampingi aksi demonstrasi menolak pengesahan Omnibus Law di kantor Gubernur Jawa Tengah, ia menyaksikan ada peserta aksi yang dipiting dan dipukul oleh orang berseragam polisi. Sebagai pendamping hukum, ia langsung protes dan berteriak untuk menghentikan aksi pemukulan tersebut. “Tiba-tiba saya ditarik dan dibentak-bentak oleh polisi yang lain,” ceritanya.

Tidak berhenti di situ, salah satu staf LBH Semarang juga menjadi korban pemukulan. Sebagai pimpinan, tentu ia kembali bereaksi memrotes kekerasan tersebut. “Saya kembali ditarik, bahkan jilbab yang saya pakai sampai robek,” jelasnya.

Intimidasi juga sering diterima LBH Semarang saat mendampingi masyarakat Papua menyuarakan pendapat dan aspirasi yang dilindungi undang-undang. Kantor LBH Semarang juga pernah digeruduk kelompok massa intoleran yang tidak suka dengan aktivitas pendampingan hukum yang dilakukan LBH Semarang. “Ini membuat teman-teman LBH lebih aware dengan isu keamanan dan advokasi berkelanjutan,” katanya.

Menang di pengadilan pun belum tentu bisa mendapatkan kemenangan di lapangan. Apalagi bisa yang dihadapi kekuasaan dan kebijakan pemerintah. Seperti kasus gugatan terkait pendirian pabrik semen di Rembang. Meskipun menang di tingkat Mahkamah Agung, tapi kenyataan di lapangan pemerintah provinsi Jateng hanya mencabut surat yang digugat dan menerbitkan kembali dengan subtansi yang sama. “Hanya kemenangan semu,” tegas Eti.

Aturan organisasi membuat LBH Semarang selalu dijalankan oleh orang-orang muda. Peserta Kalabahu disyaratkan berusia maksimal 27 tahun. Selain itu, ada aturan bahwa staf LBH Semarang hanya bisa bergabung maksimal 8 tahun pengabdian. Hasilnya, LBH Semarang digerakkan oleh anak-anak muda di bawah usia 35 tahun. “Kecuali bila mendapat tugas, misalnya seperti saya jadi direktur, maka masih bisa menjalankan tugas itu sampai habis masa jabatannya meski sudah 8 tahun,” kata Eti.

Eti bergabung di LBH Semarang sejak 2015. Seperti prosedur yang ada, ia mengikuti program Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu). Selanjutnya menjadi staf LBH Semarang dan mulai mendampingi kasus-kasus hukum. Pada November 2020, Eti dipilih menjadi direktur LBH Semarang dengan masa jabatan hingga 2024.

Kalabahu, lanjut lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang ini, menjadi ajang untuk mencari relawan-relawan hukum yang militan. Sebab sejak awal para pendaftar sudah sadar bahwa bergabung dengan LBH maka harus rela berkorban waktu, tenaga dan pikiran. Sebab mereka akan mendampingi kasus-kasus tanpa bayaran dari klien dan rentan mendapatkan intimidasi. “Tapi ada kebahagiaan tersendiri bila melihat klien kami bisa menang di pengadilan,” kata Eti.

Walaupun mendampingi perkara gratisan, tapi para pengacara dan staf LBH Semarang ini tetap mendapatkan upah dari lembaga. LBH Semarang termasuk yang mendapatkan dana bantuan hukum dari pemerintah, meski jumlahnya terbatas. Selain itu, juga ada dana dari lembaga donor lewat program-program LBH Semarang yang sesuai dengan misi lembaga donor. Donasi masyarakat juga menjadi salah satu sumber keuangan yang selalu dilaporkan kepada publik tiap akhir tahun. (ton/isk)


Baca artikel dan berita terbaru di Google News


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya