
RADARSEMARANG.ID – Bercita-cita awal menjadi hakim untuk meneruskan jejak sang ayah, yang seorang Panitera Pengganti di PN Ambon, John Richard Latuihamallo, SH, MH, mengubah haluan cita-citanya justru selepas lulus dari Fakultas Hukum Undip pada 1995. Profesi advokat lebih memikatnya ketimbang hakim.
“Saya itu orangnya susah diatur, lebih bebas, suka tantangan, suka membela kebenaran, dan terpenting saya pejuang tangguh,” tandas John Richard saat ditanya alasannya banting stir cita-cita. Demi mewujudkan impiannya, ia lantas magang di kantor advokat Prof. Ignatius Ridwan Widyadharma SH, MH, Ph.D, sejak 1995 hingga 2006.

Kali pertama menangani perkara, Bang Jhon—sapaan intimnya—mengaku bingung, resah, juga gelisah. John sama sekali tidak mendapat arahan dari Prof Ignatius yang memberinya kasus. “Beliau hanya bilang, saya tidak mau tahu bagaimana cara kamu menyelesaikan. Kamu kan sarjana hukum. Lima tahun kuliah kan sudah tahu hukum acara persidangan. Ya sudah, sana sidangkan kasusnya hingga selesai. Itu, waduuuhhh saya bener-bener bingung,” katanya, mengenang peristiwa 26 tahun silam itu.
Awal menangani kasus sendiri itulah, menjadi tempaan luar biasa hingga menjadikan dirinya advokat tangguh. Selalu berimprovisasi, tekun, dan belajar menganalisa kasus. John lakukan itu tanpa henti. “Intinya, seorang advokat itu jangan hanya berdiam diri,” tandas pria penghobi motor Harley Davidson ini.

John menceritakan pengalamannya menangani kasus dukun santet di Demak. Kepada klien, ia menyampaikan sikapnya. John menegaskan hanya mau membela, jika kliennya berkata jujur.
“Saat saya dampingi tersangka, saya tanya begini: ‘kamu ngaku salah atau tidak? Kalau kamu nggak jujur, saya tidak mau bela kamu.” John berprinsip, selaku pembela, harus melihat sisi keadilan dan kebenaran. Bukan karena kliennya.
Soal penegakan hukum, John berargumen, penegakan hukum saat ini adalah keadilan menurut politik. Keadilan menurut hakim, menurut jaksa, dan keadilan menurut advokat. John pun melanjutkan, “Keadilan itu apa yang dipercaya oleh mereka sebagai pelaku.”
Karena itu, tandas John, advokat harus benar-benar bernurani untuk dua faktor itu. Atau sebaliknya, tinggal mereka memilih mana yang ia yakini.
Terkait prinsip hidup, John mengatakan, jika ia merasa benar, maka sampai di manapun kebenaran itu akan ia kejar.“Karena Tuhan berada di sisi kebenaran. Kalau saya salah, saya minta maaf. Hidup itu jalani saja dengan semangat, easy, kerja keras, dengan tegas.”
Singkatnya, kata suami dari chef Nanan Wiryono ini, hidup itu kita yang jalani. Bukan orang lain. “Jadi jangan hidup karena omongan orang lain. Seperti lirik lagunya Bon Jovi, it’s my live.” Karena itu, bagi seorang John Richard, keluarga adalah segalanya. Sebelum pandemi, John selalu mengajak istri dan anak-anaknya untuk berlibur. Terutama ke Bali.
“Tapi selama pandemic, lebih baik di rumah saja,” ucap pria yang hobi menunggangi moge Harley Davidson bersama sang istri. “Hobi naik motor karena dulu cita-cita saya keliling dunia. Awalnya ingin jadi diplomat. Tahunya malah jadi advokat.”
Selain Bali, Jogja juga jadi lokasi favorit jujukan John dan keluarga. “Dulu, setiap Minggu sekeluarga pasti ke sana.” Sekadar untuk berburu kuliner, karena istrinya berprofesi chef dan pemilik sekolah memasak. (*/sls/isk)