
RADARSEMARANG.ID – Panggilannya singkat: Bob. Usianya masih tergolong muda. Prinsip yang selalu dipegangnya dalam beracara, mengedepankan kejujuran dan berlandaskan materi hukum.
“Hal paling penting untuk menjadi lawyer itu jujur. Juga tetap berlandaskan materi hukum. Atau, untuk cerdas terhadap materi hukum, tidak mengedepankan aspek-aspek yang lain. Itu jadi prinsip saya juga,” ungkapnya kepada jurnalis Jawa Pos Radar Semarang.

Prinsipnya, sambung Bob, ia ingin mencegah permasalahan muncul. “Jadi bukan menangani permasalahan itu semakin muncul,” sambungnya. Sudah ratusan kasus ia tangani. “Kalau klien tetap ada 40-an. Kalau sama yang di luar (tidak tetap), dari awal sampai sekarang ya 500 lebih. Kalau kita lihat satu tahun ada surat kuasa 100-an, tinggal dijumlahkan sampai sembilan tahun,” bebernya.
Lahir di Semarang pada 6 Maret 1987, Bob jebolan Fakultas Hukum Undip. Lulus SI pada 2009. Sempat magang di kantor lawyer PI Sugiarto. Kurang lebih sekitar tiga tahun magang, Bob ambil S2 Magister Hukum, di kampus almamaternya. “Setelah lulus S2, saya magang lagi, dan tinggal menunggu disumpah menjadi lawyer. Itu karena lawyer punya batasan usia (minimal) 25 tahun,” terangnya. Saat lulus S2, usia Bob baru 23 tahun.

“Karena syarat (usia) itu, saya harus menunggu sampai umur 25 tahun untuk disumpah menjadi lawyer. Jadi saya cukup panjang sekitar empat tahun magangnya,” jelas suami dari Michelle Pfeiffer Santoso ini.
Selesai magang dan diambil sumpah, Bob membuka kantor lawyer sendiri. Namanya: Bob Horo & Partners. “Nama Bob Horo, itu nama saya. Bob itu nama saya, Horo itu marga saya di Sumba,” jelasnya. Kasus pertama yang ditangani Bob adalah perkara ringan: kecelakaan. “Kasus kecelakaan ringan. Anak-anak tidak pakai helm. Ugal-ugalan akhirnya ketabrak. Justru yang minta ganti rugi adalah keluarga dari anak tersebut,” katanya.
Kata Bob, prinsip yang ia kedepankan adalah bagaimana menyelesaikan sebaik mungkin. Bukan bagaimana hukum ditabrakan dengan segala cara. Tapi, bagaimana sistem itu bergerak. “Akhirnya ya kita menempuh jalan perdamaian.”
Kasus menarik lain yang pernah Bob tangani, dugaan kriminalisasi atau dipaksakannya sebuah perkara oleh proses penegakan hukum. Melibatkan salah satu perusahaan swasta dengan kerugian konsumen cukup banyak.
“Nominalnya sampai puluhan miliar. Jumlah korbannya sampai ratusan. Proses hukumnya cukup panjang. Sudah jalan sekitar 3-4 tahun. Kita masih terus memperjuangkan hak hak orang yang dirugikan,” tegasnya.
Disinggung soal banyaknya lawyer yang tergabung di firma hukumnya, Bob menuturkan, hal itu merupakan bentuk kepercayaan yang diberikan kepadanya. “Cukup banyak memang. Ini agak lebih sedikit berbeda dengan kantor lain. Kalau di sini, proses-proses bekerja sama dengan yang lain, kita benar-benar menerapkan partner sebagai partner kita, bukan sebagai anak buah. Bukan sebagai orang yang lebih rendah,” bebernya. Selain di Semarang, Bob juga membuka firma hukum yang sama di Jakarta.
Sebaliknya, mereka berpikir bareng-bareng, dan benar bekerja sama sebagai rekan. “Dan di situlah kita bersama-sama sharing atas karunia untuk berkat yang sudah kita miliki. Semua orang memiliki kelebihan dan kita gunakan yang tepat, khususnya dalam hal ini hukum.”
Jadi Lawyer, Pilih Jalur Berbeda
Apa yang yang melatarbelakangi pria berusia 34 tahun ini menjadi advokat? Bob mengaku karena faktor lingkungan keluarga. Kelurganya kebanyakan berprofesi jaksa. “Saya menjadi lawyer kemauan saya sendiri. Pilih jalur yang beda.”
Terkait prinsip hidup, kata Bob, hidup di dunia tempat untuk menyalurkan berkat, atau kelebihan, karunia yang diberikan Tuhan. Ketika manusia mendapatkan kelebihan, harus berkewajiban membantu mereka yang sedang kekurangan.
“Karena apa yang diberikan kepada kita, bukan hanya untuk kita sebenarnya. Tapi untuk banyak orang yang dipercayakan kepada kita. Kita hanya dipercayakan berkatnya. Itulah yang menjadi kepercayaan kita juga,” jelas ayah dari Dominic Alexander Horo ini.
Bob mengaku tipe pekerja keras. Sebelum berkeluarga, setidaknya selama tujuh kali 24 jam, berada di kantor. Tapi, setelah berkeluarga, Bob meluangkan weekend-nya buat anak-istri. “Saat ini, hobi saya berkumpul bareng keluarga.”
Bob dan keluarga menghabiskan libur dengan jalan-jalan. Cukup di sekitar Kota Semarang. Jika tidak pandemi, Bob sudah merencanakan jalan-jalan ke luar negeri. “Tapi, kalau saya lebih suka di rumah, saya kumpul, mungkin saya undang keluarga, teman untuk kumpul.”
Kata Bob, keluarga besarnya sangat plural. Semua agama ada. Termasuk, suku atau ras. Ada orang Jawa, Batak, Menado, Sumba, dan Padang “Jadi pluralisme yang membuat kita suka berkumpul. Mau itu Natal, Idul Fitri, mau Hari Raya apapun kita saling mengucapkan selamat. Kita berkumpul. Itu yang membuat atau menjadi hal yang sifatnya favorit,” urainya.
Soal prinsip mendidik anak, Bob tidak mengekang. Menurutnya, anak memiliki banyak teman, dan memiliki banyak kecerdasan emosional yang sekarang ini lebih penting daripada kecerdasan akademis.
“Kalau dulu, saya lulus cepat nilai baik itu cukup. Tapi kalau buat anak saya, saya bebaskan. Sekarang belum sekolah, mau nilainya apapun tidak menjadi masalah, sepanjang dia di tengah masyarakat nantinya bisa berguna,” katanya.
Kata Bob, mendidik anak bukan hanya semata untuk menangkap kepintaran saja. Alasannya, anak bisa menjadi pintar bisa melalui banyak cara. “Anak pintar itu dileskan bisa pintar. Dipaksa untuk belajar akan pintar. Tapi, bagi saya, lebih penting kalau anak saya lebih cerdas dalam berpikir. Cerdas dalam menyikapi sesuatu, juga cerdas dalam merespons.” (*/mha/isk)