
RADARSEMARANG.ID – Bagi Adi Prakoso, advokat adalah profesi panggilan dari hati. Sejak kecil, ia sudah memimpikan dan bercita-cita menjadi advokat.
Cita-Cita menjadi advokat, karena Adi Prakoso ingin menjadi bagian dari penegakan hukum. Utamanya, bagi orang-orang kurang mampu yang terjerat atau tersandung kasus hukum.

Sebelum menjadi seorang advokat, Adi Prakoso bekerja di salah satu perusahaan BUMN sejak 1993. Selama bekerja di BUMN, Adi mengaku berkecukupan dari sisi materi. Tapi, ia mengaku tidak nyaman. “Kurang begitu bisa menikmati pekerjaan di BUMN,” tuturnya.
Akhirnya, ia mengajukan diri untuk keluar. Namun, permintaan itu ditolak oleh pimpinan, lantaran tenaga dan pikirannya masih dibutuhkan di BUMN. Baru pada awal 1995, ia tetap mengundurkan diri dan memilih menjadi advokat sepeninggal ayahanda tercinta.

Adi lantas mengikuti ujian profesi advokat. Meski dinyatakan lulus, ia tak langsung mendirikan kantor advokat. “Saya ikut salah satu kantor advokat di Jakarta. Selama setengah tahun untuk mencari pengalaman,” akunya.
Profesi advokat, membuat hidup Adi jauh lebih berwarna. Ia bertemu dengan wanita cantik bernama I Kurniati, SE. Kini, perempuan itu menjadi istri dan ibu dari putri semata wayangnya. “Bertemu saat menjadi konsultan hukum beberapa perusahaan perbankan. Saat melihatnya, langsung jatuh cinta. Karena sosoknya cantik seperti gadis yang digambarkan dalam novel. Bagi saya, dia adalah cinta pertama dan terakhir. Lalu, pada tahun 2000, saya menikahinya sampai sekarang,” tandasnya.
Pria kelahiran 28 Mei 1968 itu lantas mendirikan kantor advokat sendiri bersama rekan-rekannya sejawat. Namanya: Adi Prakoso and Associate. Berkantor di Gedung Marba, Kota Lama, Semarang.
Bagi Adi, advokat adalah profesi panggilan hati. Sebab, saat mendampingi klien, tak jarang kliennya yang sudah diberi nasihat hukum, justru malah memiliki pendapat sendiri. “Padahal, kami sudah memberikan saran terbaik, yang menurut kami dapat meringankan klien,” tuturnya.
Tapi, karena klien memiliki pendapat lain, Adi tetap mengikuti. Karena ia menyadari posisinya hanya sebagai penasihat hukum. “Di situlah mengapa saya mengatakan profesi advokat adalah panggilan hati. Kalau tidak, pasti akan sakit hati karena secara hukum kami mendampingi atas permintaan klien,” tuturnya.
Namun, setelah ada putusan dari pengadilan, hasilnya kurang memuaskan klien. Saat itulah, klien merasa bersalah dan menyesal. Klien pun langsung membenarkan pendapat Adi yang sebelumnya sudah disampaikan.
Ayah dari Fadilah Intan Maharani itu mengaku, selama menjadi advokat, banyak pengalaman pahit manis dan asam garam. Baginya, setiap kasus yang ditangani, punya kesan tersendiri. Sebab, setiap kasus berbeda dan unik. Sehingga cara penanganannya pun berbeda.
Utamanya, karena klien yang didampingi juga berbeda-beda. Dan, dari latar belakang yang berbeda-beda. “Sehingga model pendekatan dan pendampingannya satu klien dengan lainnya, jelas akan berbeda.”
Meski memiliki nama yang sudah tenar sebagai advokat, Adi Prakoso tetap merupakan sosok low profile. Ia mengaku tidak memilih-milih perkara atau klien. Baginya, sesuai sumpah dan janji, seorang advokat harus bisa bekerja profesional. Yakni, mendampingi siapa pun membutuhkan jasanya.
Bahkan, sampai sekarang, ia juga aktif mendampingi kasus-kasus prodeo. Yakni, memberikan layanan hukum bagi warga kurang mampu yang sedang tersandung masalah hukum di pengadilan. “Istilahnya pendampingan secara cuma-cuma,” paparnya.
Pendampingan kasus prodeo, setidaknya setiap bulan maksimal menerima enam perkara. Kebanyakan kasus prodeo yang ditangani adalah tawuran atau perkelahian, pencurian, penganiayaan, dan sebagainya.
“Mengapa maksimal enam perkara prodeo, karena kami bekerja secara profesional. Sebab, kemampuan SDM di kantor kami maksimalnya itu. Lebih dari itu, kami jelas kewalahan. Makanya, kami batasi, agar bisa menggunakan jasa pengacara lain.”
Meski kasus prodeo, Adi mengaku tidak membeda-bedakannya. Ia dan rekannya di Law Office Adi Prakoso and Associate tetap serius mendampingi. Mengupayakan yang terbaik bagi kliennya. “Sebab, pengacara bukan melindungi terdakwa dari hukum, tapi melindungi hak-hak terdakwa di muka pengadilan.”
Baginya, hukum sebuah kasta peradaban seseorang atau kelompok masyarakat. Artinya, semakin maju peradaban, maka semakin terlihat kepatuhannya terhadap hukum yang berlaku di masyarakat. Sebaliknya, negara kurang maju, jika masih banyak terjadi pelanggaran hukum.
Contohnya, Amerika dan Inggris. Orang-orang di sana, meski tidak ada polisi lalu lintas di jalan, mereka tetap berkendara dengan mematuhi rambu-rambu lalu lintas. “Sebab, mereka menghormati orang lain untuk mendapatkan hak yang sama,” tuturnya.
Kalau di Asia, kata Adi, kasta peradaban tertinggi adalah Jepang dan Singapura. “Warganya patuh dan disiplin. Karena mereka menyadari tidak menyukai jika hak hukumnya dilanggar orang lain,” pungkasnya. (bud/isk)